id
int64
1
6.24k
surah_id
int64
1
114
surah_arabic
stringclasses
114 values
surah_latin
stringclasses
114 values
surah_transliteration
stringclasses
114 values
surah_translation
stringclasses
110 values
surah_num_ayah
int64
3
286
surah_page
int64
1
604
surah_location
stringclasses
2 values
ayah
int64
1
286
page
int64
1
604
quarter_hizb
int64
0
61
juz
int64
1
30
manzil
int64
1
7
arabic
stringlengths
6
1.22k
latin
stringlengths
6
1k
translation
stringlengths
6
1.62k
no_footnote
stringclasses
678 values
footnotes
stringclasses
678 values
tafsir_wajiz
stringlengths
6
3.62k
tafsir_tahlili
stringlengths
63
19.5k
tafsir_intro_surah
stringclasses
114 values
tafsir_outro_surah
stringclasses
113 values
tafsir_munasabah_prev_surah
stringclasses
113 values
tafsir_munasabah_prev_theme
stringlengths
126
2.63k
tafsir_theme_group
stringlengths
6
130
tafsir_kosakata
stringlengths
52
23k
tafsir_sabab_nuzul
stringclasses
172 values
tafsir_conclusion
stringlengths
127
3.71k
1
1
الفاتحة
Al-Fātiḥah
Al-Fatihah
Pembuka
7
1
Makkiyah
1
1
0
1
1
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
null
null
Aku memulai bacaan Al-Qur'an dengan menyebut nama Allah, nama teragung bagi satu-satunya Tuhan yang patut disembah, yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan tersucikan dari segala bentuk kekurangan, Yang Maha Pengasih, Pemilik dan sumber sifat kasih Yang menganugerahkan segala macam karunia, baik besar maupun kecil, kepada seluruh makhluk, Maha Penyayang Yang tiada henti memberi kasih dan kebaikan kepada orang-orang yang beriman. Memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah (basmalah) akan mendatangkan keberkahan, dan dengan mengingat Allah dalam setiap pekerjaan, seseorang akan memiliki kekuatan spiritual untuk melakukan yang terbaik dan menghindar dari keburukan.
Surah al-Fātiḥah dimulai dengan Basmalah (بسم الله الرحمن الرحيم). Ada beberapa pendapat ulama berkenaan dengan Basmalah yang terdapat pada permulaan surah Al-Fātiḥah. Di antara pendapat-pendapat itu, yang termasyhur ialah: 1. Basmalah adalah ayat tersendiri, diturunkan Allah untuk jadi kepala masing-masing surah, dan pembatas antara satu surah dengan surah yang lain. Jadi dia bukanlah satu ayat dari al-Fātiḥah atau dari surah yang lain, yang dimulai dengan Basmalah itu. Ini pendapat Imam Malik beserta ahli qiraah dan fuqaha (ahli fikih) Medinah, Basrah dan Syam, dan juga pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Sebab itu menurut Imam Abu Hanifah, Basmalah itu tidak dikeraskan membacanya dalam salat, bahkan Imam Malik tidak membaca Basmalah sama sekali. Hadis Nabi saw: عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: ḍصَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ بِالْحَمْدِ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لَا يَذْكُرُوْنَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا». (رواه الشيخان واللفظ لمسلم) Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Saya salat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka memulai dengan al-ḥamdulillāhi rabbil ‘ālamīn, tidak menyebut Bismillāhirraḥmānirrahīm di awal bacaan, dan tidak pula di akhirnya.”(Riwayat al-Bukhārī dan Muslim). 2. Basmalah adalah salah satu ayat dari al-Fātiḥah, dan pada surah an-Naml/27:30, اِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَاِنَّهُ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (النمل/27:30) yang dimulai dengan Basmalah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i beserta ahli qiraah Mekah dan Kufah. Sebab itu menurut mereka Basmalah itu dibaca dengan suara keras dalam salat (jahar). Dalil-dalil yang menunjukkan hal itu antara lain Hadis Nabi saw: عَنْ ابن عباس قال: كانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (رواه الحاكم فى المستدرك وقال صحيح) Dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata, Rasulullah saw mengeraskan bacaan Bismillāhirrahmānirrahīm. (Riwayat al-Ḥākim dalam al-Mustadrak dan menurutnya, hadis ini sahih) عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. (رواه أحمد وابو داود وابن خزيمة والحاكم وقال الدار قطنى: سنده صحيح) Dari Ummu Salamah, katanya, Rasulullah saw berhenti berkali-kali dalam bacaanya Bismillāhirrahmānirrahīm, al-Ḥamdulillāhi Rabbil- ‘Ālamīn, ar-Raḥmānir-raḥīm, Māliki Yaumid-dīn. (Riwayat Aḥmad, Abu Dāud, Ibnu Khuzaimah dan al-Ḥākim. Menurut ad-Dāruquṭnī, sanad hadis ini sahih). Abu Hurairah juga salat dan mengeraskan bacaan basmalah. Setelah selesai salat, dia berkata, “Saya ini adalah orang yang salatnya paling mirip dengan Rasulullah.” Muawiyah juga pernah salat di Medinah tanpa mengeraskan suara basmalah. Ia diprotes oleh para sahabat lain yang hadir disitu. Akhirnya pada salat berikutnya Muawiyah mengeraskan bacaan basmalah. Kalau kita perhatikan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw telah sependapat menuliskan Basmalah pada permulaan surah dari surah Al-Qur’an, kecuali surah at-Taubah (karena memang dari semula turunnya tidak dimulai dengan Basmalah) dan bahwa Rasulullah saw melarang menuliskan sesuatu yang bukan Al-Qur’an agar tidak bercampur aduk dengan Al-Qur’an, sehingga mereka tidak menuliskan ‘āmīn’ pada akhir surah al-Fātiḥah, maka Basmalah itu adalah salah satu ayat dari Al-Qur’an. Dengan kata lain, bahwa “basmalah-basmalah” yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah ayat-ayat Al-Qur’an, lepas dari pendapat apakah satu ayat dari al-Fātiḥah atau dari surah lain, yang dimulai dengan Basmalah atau tidak. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa surah al-Fātiḥah itu terdiri dari tujuh ayat. Mereka yang berpendapat bahwa Basmalah itu tidak termasuk satu ayat dari al-Fātiḥah, memandang: غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ adalah salah satu ayat, dengan demikian ayat-ayat al-Fātiḥah itu tetap tujuh. بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ “Dengan nama Allah” maksudnya “Dengan nama Allah saya baca atau saya mulai”. Seakan-akan Nabi berkata, “Saya baca surah ini dengan menyebut nama Allah, bukan dengan menyebut nama saya sendiri, sebab ia wahyu dari Tuhan, bukan dari saya sendiri.” Maka Basmalah di sini mengandung arti bahwa Al-Qur’an itu wahyu dari Allah, bukan karangan Muhammad saw dan Muhammad itu hanyalah seorang Pesuruh Allah yang dapat perintah menyampaikan Al-Qur’an kepada manusia. Makna kata Allāh Allah adalah nama bagi Zat yang ada dengan sendirinya (wājibul-wujūd). Kata “Allah” hanya dipakai oleh bangsa Arab kepada Tuhan yang sebenarnya, yang berhak disembah, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan. Mereka tidak memakai kata itu untuk tuhan-tuhan atau dewa-dewa mereka yang lain. Hikmah Membaca Basmalah Seorang yang selalu membaca Basmalah sebelum melakukan pekerjaan yang penting, berarti ia selalu mengingat Allah pada setiap pekerjaannya. Dengan demikian ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan selalu memperhatikan norma-norma Allah dan tidak merugikan orang lain. Dampaknya, pekerjaan yang dilakukannya akan berbuah sebagai amalan ukhrawi. Seorang Muslim diperintahkan membaca Basmalah pada waktu mengerjakan sesuatu yang baik. Yang demikian itu untuk mengingatkan bahwa sesuatu yang dikerjakan adalah karena perintah Allah, atau karena telah diizinkan-Nya. Maka karena Allah dia mengerjakan pekerjaan itu dan kepada-Nya dia meminta pertolongan agar pekerjaan terlaksana dengan baik dan berhasil. Nabi saw bersabda: كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ أَقْطَعُ (رواه عبد القادر الرهاوي) “Setiap pekerjaan penting yang tidak dimulai dengan menyebut Basmalah adalah buntung (kurang berkahnya).” (Riwayat Abdul-Qādir ar-Rahāwī). Orang Arab sebelum datang Islam mengerjakan sesuatu dengan menyebut al-Lāta dan al-‘Uzzā, nama-nama berhala mereka. Sebab itu, Allah mengajarkan kepada penganut-penganut agama Islam yang telah mengesakan-Nya, agar mereka mengerjakan sesuatu dengan menyebut nama Allah.
Nama, Tempat Diturunkan, dan Jumlah Ayat Surah pertama al-Fātiḥah mempunyai bermacam-macam nama, antara lain: 1. Surah al-Fātiḥah Kata “Fātiḥah” terambil dari kata kerja fataḥa yang berarti “membuka” atau “memulai”. Sedangkan “al-” adalah kata sandang, artikel definitif, itu, penunjuk suatu kata benda. Al-Fātiḥah di sini berarti “Pembuka” atau “Pemula”. Surah ini dinamakan “al-Fātiḥah” karena dengan surah inilah dibuka Al-Qur’an, artinya dengan surah inilah dimulai susunan surah-surah Al-Qur’an. Peletakannya di permulaan Al-Qur’an berdasarkan tauqīfi, artinya perintah dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. 2. Ummul-Qur’ān atau Ummul-Kitāb Di samping nama “al-Fātiḥah“, surah ini juga dinamakan Ummul-Qur’ān (Induk Al-Qur’an) atau Ummul-Kitāb (Induk Al-Kitab), karena merupakan induk, pokok, atau basis bagi Al-Qur’an seluruhnya, dengan arti bahwa surah al-Fātiḥah mengandung pokok-pokok isi Al-Qur’an 3. As-Sab‘ul Maṡānī Surah al-Fātiḥah juga dinamai as-Sab‘ul-Maṡānī (tujuh yang berulang-ulang). Dinamai demikian karena ayatnya berjumlah tujuh, dan dibaca berulang-ulang dalam salat. Salat tidak sah tanpa membaca surah al-Fātiḥah, berdasarkan Hadis: لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. (رواه اصحاب الستة عن عبادة بن الصامت) Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca al-Fātiḥah. (Riwayat Aṣḥābus-Sittah dari ‘Ubadah bin aṣ-Ṣāmit) Selain beberapa nama yang disebutkan, masih ada nama-nama lain, yaitu al-Kanz (Perbendaharaan), al-Ḥamd (Pujian), aṣ-Ṣalāh (Salat), al-Wāqiyah (Yang Me-lindungi), Asāsul-Qur'ān (Pokok-pokok Al-Qur’an), asy-Syāfiyah (Penyembuhan), al-Kāfiyah (Yang Mencukupi), ar-Ruqyah (Bacaan untuk Pengobatan), asy-Syukur (Syukur) ad-Du’ā (Doa) dan al-Asās (Asas Segala Sesuatu). Surah al-Fātiḥah diturunkan di Mekah, jadi termasuk surah Makkiyyah. Surah ini diturunkan pada waktu pertama kali disyariatkan salat dan diwajibkan membacanya di dalam salat, karena itu, ia adalah surah yang pertama diturunkan dengan lengkap. Dalam surah ini terdapat kesimpulan dari isi keseluruhan Al-Qur’an. Pokok-Pokok Isinya Telah disebutkan di atas, bahwa surah al-Fātiḥah adalah induk dari Al-Qur’an seluruhnya, sehingga ia merupakan intisari dari isi Al-Qur’an, yaitu: 1. Akidah 2. Ibadah 3. Hukum-hukum 4. Janji dan ancaman 5. Kisah-kisah. Akidah Akidah adalah yang pertama kali dibawa oleh Al-Qur’an dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Para nabi dan rasul yang telah diutus sebelum Muhammad saw. juga menanamkan keimanan ini sejak pertama kali mereka diutus kepada umatnya. Keimanan yang dikandung oleh Al-Qur’an meliputi keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, hari akhirat serta qaḍa' dan qadar. Pada waktu Al-Qur’an diturunkan, keimanan yang dibawa oleh para rasul sebelumnya sudah kabur, tauhid yang murni tidak ada lagi. Kepada umat-umat terdahulu telah diutus para rasul, dan mereka telah mempunyai kitab-kitab samawi. Mereka kemudian memandang para rasul, orang-orang saleh, dan malaikat-malaikat sebagai Tuhan. Kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para nabi dan rasul kepada mereka sudah diubah oleh tangan mereka sendiri. Bangsa Arab, baik yang telah pernah menganut ajaran-ajaran Nabi Ibrahim, maupun tidak, sebagian besar telah menjadi penganut kepercayaan waṡani, penyembah patung dan dewa-dewa, sehingga menurut riwayat, di sekitar Ka‘bah terdapat 360 buah patung. Maka, datanglah Al-Qur’an untuk menyucikan akidah manusia dari berbagai kotoran syirik, dengan membawa akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh berbagai kepercayaan dan perbuatan menuhankan sesuatu dalam alam ini. Akidah tauhid yang dibawa oleh Al-Qur’an itu adalah akidah yang amat jelas dan tegas, dapat dipahami akal, dan yang paling sempurna. Tuhan Yang Maha Esa, Dialah yang Khalik, sedang selain Dia adalah makhluk. Tak ada permulaan-Nya, dan tak ada kesudahan-Nya. Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia. Alam semesta ini makhluk Allah, yang akan lenyap dan binasa dengan kehendak Allah, karena keberadaannya juga dengan kehendak Allah. Di dalam surah al-Fātiḥah, akidah tauhid ini terdapat dalam ayat-ayat: a. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢ “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam” Maksud ayat “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,” adalah bahwa yang berhak dipuji hanyalah Allah, maka pujian haruslah dihadapkan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan “semua puji” meliputi: (1) puji Tuhan kepada diri-Nya; (2) puji Allah kepada makhluk-Nya; (3) puji makhluk kepada makhluk; dan (4) puji makhluk kepada Tuhannya. Pada hakikatnya, segala puji itu milik Allah. Seseorang dipuji karena sifat-sifat yang mulia yang ada pada dirinya, atau karena perbuatan, jasa dan budi baiknya. Pujian itu hanya semata-mata milik Allah, karena Dialah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang menyebabkan Dia berhak dipuji, umpama: sifat Maha Esa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuasa, Mahaadil, Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Pemaaf dan lain sebagainya. Pernyataan seorang hamba bahwa hanya Allah sajalah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan bahwa Dia sajalah yang telah memberi nikmat dan karunia, merupakan inti dari keimanan kepada Allah dan merupakan akidah tauhid yang sebenarnya. Keimanan kepada Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, dan akidah tauhid yang murni adalah ajaran Islam yang terpenting. Sebab itu di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah Rabb bagi seluruh alam. Kata Rabb itu selain bermakna “Pemilik” juga berarti “Pendidik” atau “Pengasuh”. Dengan ini jelas bahwa apa pun yang berada dalam alam ini adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan, mendidik, mengasuh, menumbuhkan dan memeliharanya. Tidak ada yang bersekutu dengan Dia. Sejalan dengan ini, maka makhluk itu bagaimanapun kecil dan halusnya dan jauh tempatnya tetap berada di bawah pengetahuan, lindungan dan pemeliharaan Allah. Allah telah memberikan kepada makhluk-Nya suatu bentuk, lalu dikaruniakan-Nya akal, naluri dan kodrat alamiah yang dapat dipergunakan untuk kelanjutan hidupnya. Sesudah itu berbagai nikmat tersebut tidak dilepaskan begitu saja oleh Allah, melainkan selalu dipelihara, dilindungi dan dijaga-Nya. Pendidikan, pemeliharaan, penumbuhan oleh Allah terhadap makhluk-Nya haruslah diperhatikan dan dipelajari oleh manusia dengan sedalam-dalamnya, dan memang sejak dahulu sampai sekarang telah diperhatikan dan dipelajari oleh para pemikir dan para sarjana, sehingga telah menjadi sumber berbagai macam ilmu pengetahuan, yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kebesaran Allah, serta berguna bagi masyarakat. b. الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ ٣ (الفاتحة) “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Ayat ini berisi keimanan, karena dalam ayat ini dinyatakan dengan lebih jelas akidah tauhid. Ayat ini menerangkan bahwa hanya Allah sajalah yang berhak disembah dan hanya kepada Allah sajalah manusia seharusnya memohon pertolongan. Jadi, manusia sebagai makhluk Allah, haruslah berhubungan langsung dengan Allah sebagai Khaliknya. Ketika manusia berdoa memohon sesuatu haruslah langsung ditujukan kepada Allah, Khaliknya tanpa perantaraan siapa dan apa pun juga. Dengan demikian, terbasmilah sampai ke akar-akarnya kepercayaan syirik (mempersekutukan Allah, membesarkan apa pun selain Allah) kepercayaan waṡani, pagan (menyembah dewa-dewa, matahari, bulan, bintang-bintang, dan lain-lain), kepercayaan majusi (menyembah api) dan sebagainya, yaitu kepercayaan yang banyak berkembang dan dianut oleh segala bangsa, sebelum datang agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kedua ayat yang disebutkan itu: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ adalah inti keimanan dan tauhid. Ayat-ayat lain, yang menyeru kepada tauhid dan memberantas kepercayaan syirik waṡani, majusi, dan sebagainya, adalah penjelasan dari kedua ayat itu. Pada dasarnya, semua ayat isi surah al-Fātiḥah itu sejak dari بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ sampai dengan صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ menerangkan akidah tauhid. Ibadah Ibadah adalah buah dari keimanan kepada adanya Allah, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Orang yang meyakini adanya segala sifat kesempurnaan-Nya akan menyembah Allah. Ajaran ibadah ini dipaparkan di dalam surah al-Fātiḥah dengan firman-Nya: اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Di dalam ayat ini Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah hanya kepada Allah semata. Maka ayat ini selain mengandung ajaran tentang tauhid, juga mengandung ajaran ibadah kepada Yang Maha Esa itu. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus. Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, Allah mengada-kan peraturan-peraturan, hukum-hukum, menjelaskan kepercayaan, memberi pelajaran dan contoh-contoh. Ini semua adalah laksana jalan lurus yang diben-tangkan Allah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Maka berbahagialah mereka yang menjalaninya dan sengsaralah orang yang menghindari diri dari jalan itu. Mengikuti jalan yang lurus ini artinya ialah beribadah kepada Allah, dengan mematuhi peraturan-peraturan, menjalankan hukum-hukum, dan berpegang ke-pada akidah yang benar, mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh yang telah diberikan Allah. Hal itu diterangkan dalam ayat-ayat lain, yang menjadi uraian dari surah al-Fātiḥah ini. Ibadah tidak dapat dipisahkan dari tauhid, sebagaimana tauhid pun tidak dapat dipisahkan dari ibadah, karena ibadah adalah buah dari tauhid, dan ia tak mempunyai nilai dan harga kalau timbulnya tidak dari perasaan tauhid. Demikian pula halnya dengan tauhid, yakni tauhid itu tidak akan subur hidup-nya di dalam jiwa dan raga manusia, kalau tidak selalu dipupuk dengan ibadah. Sebab itu, di dalam surah al-Fātiḥah ini, di samping disebut tauhid, disebut juga ibadah. Kedua-duanya secara ringkas akan diikuti dengan penjelasan-penje-lasan pada ayat-ayat lain di dalam surah-surah yang lain. Hukum-Hukum Dalam rangka beribadah kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, Allah menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan; ada yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan masyarakat dan alam seisinya. Di dalam Al-Qur’an banyak didapati ayat yang berhubungan dengan hukum dan peraturan itu. Semua ayat ini adalah penjelasan dari apa yang telah dican-tumkan dalam surah al-Fātiḥah. Allah memberi tuntunan hukum dan peraturan dalam firman-Nya: اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus Jalan yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, yaitu akidah (kepercayaan) yang benar, hukum dan peraturan, pelajaran yang dibawa oleh Al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas. Janji dan Ancaman Al-Qur’an juga berisi janji dan ancaman. Dia menjanjikan kebahagiaan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik. Sebaliknya Dia memperingatkan mereka yang mempersekutukan-Nya, yang membuat onar dan kejahatan dengan azab. Janji dan ancaman itu ditujukan kepada umum, kaum atau bangsa. Di dalam surah al-Fātiḥah terdapat ayat-ayat yang mengandung janji dan ancaman, yaitu: a. بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” Dengan menyebut “Maha Pengasih”, “Maha Penyayang”, Allah menjanjikan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, limpahan karunia dan nikmat. b. مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ “Pemilik hari pembalasan“ Pada hari itu perbuatan manusia sewaktu di dunia akan dibalas. Surga untuk mereka yang beriman dan berbuat baik, dan neraka bagi mereka yang ingkar dan berbuat salah. Ini adalah janji dan peringatan. c. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ “Tunjukilah kami jalan yang lurus” Orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus akan berbahagia, dan yang menghindarkan diri dari jalan yang lurus akan celaka. Dengan ini dapat dipahami adanya janji dan ancaman. d. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Ada orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu rasul-rasul, nabi-nabi, orang-orang saleh dan ṣiddīqīn. Orang-orang yang semacam ini akan diberi pahala dan ganjaran oleh Allah, yaitu surga jannatun-na‘īm, dan ini adalah janji-Nya. Di samping itu, ada pula orang-orang yang dimurkai Allah, yaitu mereka yang tak mau menjalani jalan yang lurus, padahal dia tahu bahwa itulah jalan yang benar, dan ada pula orang yang sesat, yaitu orang yang tak mengetahui jalan yang lurus itu atau dia mengetahuinya, tetapi dia tersesat dalam menempuh jalan itu. Mereka yang dimurkai Allah dan orang yang sesat itu akan menderita hukuman dari Allah, dan ini adalah suatu peringatan. Kisah-Kisah Untuk menjadi contoh dan teladan, pelajaran dan iktibar, Al-Qur’an telah menceritakan keadaan bangsa-bangsa dan kaum-kaum yang telah lalu dan bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi kepada mereka dan telah membuat peraturan, hukum dan syariat untuk kebahagiaan hidup mereka. Di antara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak, dan Allah menerangkan apa akibat dari penerimaan atau penolakan itu, untuk dijadikan iktibar dan pelajaran. Lebih kurang tiga perempat dari isi Al-Qur’an adalah cerita tentang bangsa-bangsa dan umat yang lalu, serta anjuran dari Allah untuk mengambil iktibar dan pelajaran dari keadaan mereka. Di dalam surah al-Fātiḥah ini keadaan bangsa-bangsa dan umat-umat yang telah lalu itu dipaparkan oleh Allah dalam firman-Nya: صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Dengan keterangan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa surah al-Fātiḥah mengandung kesimpulan isi Al-Qur’an dalam surah-surah yang berikutnya.
null
null
null
null
1. Rabb رَبّ (al-Fātiḥah/1: 2) Kata rabb secara etimologi berarti, “pemelihara”, “pendidik”, “pengasuh”, “pengatur”, dan “yang menumbuhkan”. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan, karena Tuhanlah yang secara hakiki sebagai pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluknya. Oleh sebab itu, kata rabb biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “Tuhan”. Kata rabb di dalam Al-Qur’an disebut 151 kali. 2. Ar-Raḥmān, ar-Raḥīm اَلرَّحْمٰن اَلرَّحِيْم (al-Fātiḥah/1: 3) Kata ar-raḥmān terambil dari ar-raḥmah yang berarti belas kasihan, yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi nikmat dan karunia. Jadi, kata ar-raḥmān berarti “Yang berbuat (memberi) nikmat dan karunia yang banyak”. Kata ar-raḥmān disebutkan dalam Al-Qur’an 57 kali di berbagai surah, termasuk pada Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata ar-raḥmān terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, ar-Ra‘ad, al-Isrā’, Maryam, Ṭāhā, al-Anbiyā’, al-Furqān, asy-Syu‘arā’, an-Naml, Yāsīn, Fuṣṣilat, az-Zukhruf, Qāf, ar-Raḥmān, al-Ḥasyr, al-Mulk, dan an-Naba’. Kata ar-raḥīm juga diambil dari kata ar-raḥmah. Arti ar-raḥīm ialah: “Yang mempunyai sifat belas kasihan dan sifat itu tetap padanya selama-lamanya”. Kata ar-raḥīm disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 95 kali termasuk dalam Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata Ar-raḥīm tersebut terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, Āli ‘Imrān, an-Nisā’, al-Mā’idah, al-An‘ām, al-A‘rāf, al-Anfāl, at-Taubah, Yūnus, Hūd, Yūsuf, Ibrāhīm, al-Ḥijr, an-Naḥl, al-Ḥajj, an-Nūr, asy-Syu‘arā’, an-Naml, al-Qaṣaṣ, ar-Rūm, as-Sajdah, Saba’, Yāsīn, az-Zumar, Fuṣṣilat, asy-Syūrā, ad-Dukhān, al-Aḥqāf, al-Ḥujurāt, aṭ-Ṭūr, al-Ḥadīd, al-Mujādilah, al-Ḥasyr, al-Mumtaḥanah, at-Tagābun, at-Taḥrīm, dan al-Muzzammil. Ar-raḥmān dan ar-raḥīm maksudnya bahwa Tuhan telah memberi nikmat yang banyak dengan murah dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia bersifat belas kasihan kepada makhluk-Nya. Karena sifat belas kasihan itu merupakan sifat yang tetap pada-Nya, maka nikmat dan karunia Allah tidak ada putus-putusnya.
null
null
2
1
الفاتحة
Al-Fātiḥah
Al-Fatihah
Pembuka
7
1
Makkiyah
2
1
0
1
1
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ
Al-ḥamdu lillāhi rabbil-‘ālamīn(a).
Segala puji bagi Allah, Tuhan1) semesta alam
1
1) Allah Swt. disebut rabb (Tuhan) seluruh alam karena Dialah yang telah menciptakan, memelihara, mendidik, mengatur, mengurus, memberi rezeki, dan sebagainya kepada semua makhluk-Nya.
Segala puji kita persembahkan hanya untuk Allah semata, Tuhan Pencipta dan Pemelihara seluruh alam, yaitu semua jenis makhluk.
Pada ayat di atas, Allah memulai firman-Nya dengan menyebut “Basmalah” untuk mengajarkan kepada hamba-Nya agar memulai suatu perbuatan yang baik dengan menyebut basmalah, sebagai pernyataan bahwa dia mengerjakan perbuatan itu karena Allah dan kepada-Nyalah dia memohonkan pertolongan dan berkah. Maka, pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya agar selalu memuji-Nya. Al-ḥamdu artinya pujian, karena kebaikan yang diberikan oleh yang dipuji, atau karena suatu sifat keutamaan yang dimilikinya. Semua nikmat yang telah dirasakan dan didapat di alam ini dari Allah, sebab Dialah yang menjadi sumber bagi semua nikmat. Hanya Allah yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan. Karena itu Allah sajalah yang berhak dipuji. Orang yang menyebut al-ḥamdu lillāh bukan hanya mengakui bahwa puji itu untuk Allah semata, melainkan dengan ucapannya itu dia memuji Allah. Rabb artinya pemilik, pengelola dan pemelihara. Di dalamnya terkandung arti mendidik, yaitu menyampaikan sesuatu kepada keadaan yang sempurna dengan berangsur-angsur. ‘Ālamīn artinya seluruh alam, yakni semua jenis makhluk. Alam itu berjenis-jenis, yaitu alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, alam manusia, alam benda, alam makhluk halus, umpamanya malaikat, jin, dan alam yang lain. Ada mufasir mengkhususkan ‘ālamīn pada ayat ini kepada makhluk-makhluk Allah yang berakal yaitu manusia, malaikat dan jin. Tetapi ini mempersempit arti kata yang sebenarnya amat luas. Dengan demikian, Allah itu Pendidik seluruh alam, tak ada sesuatu pun dari makhluk Allah yang terlepas dari didikan-Nya. Tuhan mendidik makhluk-Nya de-ngan seluas arti kata itu. Sebagai pendidik, Dia menumbuhkan, menjaga, mem-berikan daya (tenaga) dan senjata kepada makhluk itu, guna kesempurnaan hidupnya masing-masing. Siapa yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, menyelidiki kehi-dupan tumbuh-tumbuhan dan binatang di laut dan di darat, mempelajari per-tumbuhan manusia sejak dari rahim ibunya sampai ke masa kanak-kanak, lalu menjadi manusia yang sempurna, tahulah dia bahwa tidak ada sesuatu juga dari makhluk Allah yang terlepas dari penjagaan, pemeliharaan, asuhan dan inayah-Nya.
Nama, Tempat Diturunkan, dan Jumlah Ayat Surah pertama al-Fātiḥah mempunyai bermacam-macam nama, antara lain: 1. Surah al-Fātiḥah Kata “Fātiḥah” terambil dari kata kerja fataḥa yang berarti “membuka” atau “memulai”. Sedangkan “al-” adalah kata sandang, artikel definitif, itu, penunjuk suatu kata benda. Al-Fātiḥah di sini berarti “Pembuka” atau “Pemula”. Surah ini dinamakan “al-Fātiḥah” karena dengan surah inilah dibuka Al-Qur’an, artinya dengan surah inilah dimulai susunan surah-surah Al-Qur’an. Peletakannya di permulaan Al-Qur’an berdasarkan tauqīfi, artinya perintah dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. 2. Ummul-Qur’ān atau Ummul-Kitāb Di samping nama “al-Fātiḥah“, surah ini juga dinamakan Ummul-Qur’ān (Induk Al-Qur’an) atau Ummul-Kitāb (Induk Al-Kitab), karena merupakan induk, pokok, atau basis bagi Al-Qur’an seluruhnya, dengan arti bahwa surah al-Fātiḥah mengandung pokok-pokok isi Al-Qur’an 3. As-Sab‘ul Maṡānī Surah al-Fātiḥah juga dinamai as-Sab‘ul-Maṡānī (tujuh yang berulang-ulang). Dinamai demikian karena ayatnya berjumlah tujuh, dan dibaca berulang-ulang dalam salat. Salat tidak sah tanpa membaca surah al-Fātiḥah, berdasarkan Hadis: لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. (رواه اصحاب الستة عن عبادة بن الصامت) Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca al-Fātiḥah. (Riwayat Aṣḥābus-Sittah dari ‘Ubadah bin aṣ-Ṣāmit) Selain beberapa nama yang disebutkan, masih ada nama-nama lain, yaitu al-Kanz (Perbendaharaan), al-Ḥamd (Pujian), aṣ-Ṣalāh (Salat), al-Wāqiyah (Yang Me-lindungi), Asāsul-Qur'ān (Pokok-pokok Al-Qur’an), asy-Syāfiyah (Penyembuhan), al-Kāfiyah (Yang Mencukupi), ar-Ruqyah (Bacaan untuk Pengobatan), asy-Syukur (Syukur) ad-Du’ā (Doa) dan al-Asās (Asas Segala Sesuatu). Surah al-Fātiḥah diturunkan di Mekah, jadi termasuk surah Makkiyyah. Surah ini diturunkan pada waktu pertama kali disyariatkan salat dan diwajibkan membacanya di dalam salat, karena itu, ia adalah surah yang pertama diturunkan dengan lengkap. Dalam surah ini terdapat kesimpulan dari isi keseluruhan Al-Qur’an. Pokok-Pokok Isinya Telah disebutkan di atas, bahwa surah al-Fātiḥah adalah induk dari Al-Qur’an seluruhnya, sehingga ia merupakan intisari dari isi Al-Qur’an, yaitu: 1. Akidah 2. Ibadah 3. Hukum-hukum 4. Janji dan ancaman 5. Kisah-kisah. Akidah Akidah adalah yang pertama kali dibawa oleh Al-Qur’an dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Para nabi dan rasul yang telah diutus sebelum Muhammad saw. juga menanamkan keimanan ini sejak pertama kali mereka diutus kepada umatnya. Keimanan yang dikandung oleh Al-Qur’an meliputi keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, hari akhirat serta qaḍa' dan qadar. Pada waktu Al-Qur’an diturunkan, keimanan yang dibawa oleh para rasul sebelumnya sudah kabur, tauhid yang murni tidak ada lagi. Kepada umat-umat terdahulu telah diutus para rasul, dan mereka telah mempunyai kitab-kitab samawi. Mereka kemudian memandang para rasul, orang-orang saleh, dan malaikat-malaikat sebagai Tuhan. Kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para nabi dan rasul kepada mereka sudah diubah oleh tangan mereka sendiri. Bangsa Arab, baik yang telah pernah menganut ajaran-ajaran Nabi Ibrahim, maupun tidak, sebagian besar telah menjadi penganut kepercayaan waṡani, penyembah patung dan dewa-dewa, sehingga menurut riwayat, di sekitar Ka‘bah terdapat 360 buah patung. Maka, datanglah Al-Qur’an untuk menyucikan akidah manusia dari berbagai kotoran syirik, dengan membawa akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh berbagai kepercayaan dan perbuatan menuhankan sesuatu dalam alam ini. Akidah tauhid yang dibawa oleh Al-Qur’an itu adalah akidah yang amat jelas dan tegas, dapat dipahami akal, dan yang paling sempurna. Tuhan Yang Maha Esa, Dialah yang Khalik, sedang selain Dia adalah makhluk. Tak ada permulaan-Nya, dan tak ada kesudahan-Nya. Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia. Alam semesta ini makhluk Allah, yang akan lenyap dan binasa dengan kehendak Allah, karena keberadaannya juga dengan kehendak Allah. Di dalam surah al-Fātiḥah, akidah tauhid ini terdapat dalam ayat-ayat: a. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢ “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam” Maksud ayat “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,” adalah bahwa yang berhak dipuji hanyalah Allah, maka pujian haruslah dihadapkan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan “semua puji” meliputi: (1) puji Tuhan kepada diri-Nya; (2) puji Allah kepada makhluk-Nya; (3) puji makhluk kepada makhluk; dan (4) puji makhluk kepada Tuhannya. Pada hakikatnya, segala puji itu milik Allah. Seseorang dipuji karena sifat-sifat yang mulia yang ada pada dirinya, atau karena perbuatan, jasa dan budi baiknya. Pujian itu hanya semata-mata milik Allah, karena Dialah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang menyebabkan Dia berhak dipuji, umpama: sifat Maha Esa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuasa, Mahaadil, Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Pemaaf dan lain sebagainya. Pernyataan seorang hamba bahwa hanya Allah sajalah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan bahwa Dia sajalah yang telah memberi nikmat dan karunia, merupakan inti dari keimanan kepada Allah dan merupakan akidah tauhid yang sebenarnya. Keimanan kepada Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, dan akidah tauhid yang murni adalah ajaran Islam yang terpenting. Sebab itu di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah Rabb bagi seluruh alam. Kata Rabb itu selain bermakna “Pemilik” juga berarti “Pendidik” atau “Pengasuh”. Dengan ini jelas bahwa apa pun yang berada dalam alam ini adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan, mendidik, mengasuh, menumbuhkan dan memeliharanya. Tidak ada yang bersekutu dengan Dia. Sejalan dengan ini, maka makhluk itu bagaimanapun kecil dan halusnya dan jauh tempatnya tetap berada di bawah pengetahuan, lindungan dan pemeliharaan Allah. Allah telah memberikan kepada makhluk-Nya suatu bentuk, lalu dikaruniakan-Nya akal, naluri dan kodrat alamiah yang dapat dipergunakan untuk kelanjutan hidupnya. Sesudah itu berbagai nikmat tersebut tidak dilepaskan begitu saja oleh Allah, melainkan selalu dipelihara, dilindungi dan dijaga-Nya. Pendidikan, pemeliharaan, penumbuhan oleh Allah terhadap makhluk-Nya haruslah diperhatikan dan dipelajari oleh manusia dengan sedalam-dalamnya, dan memang sejak dahulu sampai sekarang telah diperhatikan dan dipelajari oleh para pemikir dan para sarjana, sehingga telah menjadi sumber berbagai macam ilmu pengetahuan, yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kebesaran Allah, serta berguna bagi masyarakat. b. الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ ٣ (الفاتحة) “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Ayat ini berisi keimanan, karena dalam ayat ini dinyatakan dengan lebih jelas akidah tauhid. Ayat ini menerangkan bahwa hanya Allah sajalah yang berhak disembah dan hanya kepada Allah sajalah manusia seharusnya memohon pertolongan. Jadi, manusia sebagai makhluk Allah, haruslah berhubungan langsung dengan Allah sebagai Khaliknya. Ketika manusia berdoa memohon sesuatu haruslah langsung ditujukan kepada Allah, Khaliknya tanpa perantaraan siapa dan apa pun juga. Dengan demikian, terbasmilah sampai ke akar-akarnya kepercayaan syirik (mempersekutukan Allah, membesarkan apa pun selain Allah) kepercayaan waṡani, pagan (menyembah dewa-dewa, matahari, bulan, bintang-bintang, dan lain-lain), kepercayaan majusi (menyembah api) dan sebagainya, yaitu kepercayaan yang banyak berkembang dan dianut oleh segala bangsa, sebelum datang agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kedua ayat yang disebutkan itu: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ adalah inti keimanan dan tauhid. Ayat-ayat lain, yang menyeru kepada tauhid dan memberantas kepercayaan syirik waṡani, majusi, dan sebagainya, adalah penjelasan dari kedua ayat itu. Pada dasarnya, semua ayat isi surah al-Fātiḥah itu sejak dari بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ sampai dengan صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ menerangkan akidah tauhid. Ibadah Ibadah adalah buah dari keimanan kepada adanya Allah, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Orang yang meyakini adanya segala sifat kesempurnaan-Nya akan menyembah Allah. Ajaran ibadah ini dipaparkan di dalam surah al-Fātiḥah dengan firman-Nya: اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Di dalam ayat ini Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah hanya kepada Allah semata. Maka ayat ini selain mengandung ajaran tentang tauhid, juga mengandung ajaran ibadah kepada Yang Maha Esa itu. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus. Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, Allah mengada-kan peraturan-peraturan, hukum-hukum, menjelaskan kepercayaan, memberi pelajaran dan contoh-contoh. Ini semua adalah laksana jalan lurus yang diben-tangkan Allah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Maka berbahagialah mereka yang menjalaninya dan sengsaralah orang yang menghindari diri dari jalan itu. Mengikuti jalan yang lurus ini artinya ialah beribadah kepada Allah, dengan mematuhi peraturan-peraturan, menjalankan hukum-hukum, dan berpegang ke-pada akidah yang benar, mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh yang telah diberikan Allah. Hal itu diterangkan dalam ayat-ayat lain, yang menjadi uraian dari surah al-Fātiḥah ini. Ibadah tidak dapat dipisahkan dari tauhid, sebagaimana tauhid pun tidak dapat dipisahkan dari ibadah, karena ibadah adalah buah dari tauhid, dan ia tak mempunyai nilai dan harga kalau timbulnya tidak dari perasaan tauhid. Demikian pula halnya dengan tauhid, yakni tauhid itu tidak akan subur hidup-nya di dalam jiwa dan raga manusia, kalau tidak selalu dipupuk dengan ibadah. Sebab itu, di dalam surah al-Fātiḥah ini, di samping disebut tauhid, disebut juga ibadah. Kedua-duanya secara ringkas akan diikuti dengan penjelasan-penje-lasan pada ayat-ayat lain di dalam surah-surah yang lain. Hukum-Hukum Dalam rangka beribadah kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, Allah menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan; ada yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan masyarakat dan alam seisinya. Di dalam Al-Qur’an banyak didapati ayat yang berhubungan dengan hukum dan peraturan itu. Semua ayat ini adalah penjelasan dari apa yang telah dican-tumkan dalam surah al-Fātiḥah. Allah memberi tuntunan hukum dan peraturan dalam firman-Nya: اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus Jalan yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, yaitu akidah (kepercayaan) yang benar, hukum dan peraturan, pelajaran yang dibawa oleh Al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas. Janji dan Ancaman Al-Qur’an juga berisi janji dan ancaman. Dia menjanjikan kebahagiaan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik. Sebaliknya Dia memperingatkan mereka yang mempersekutukan-Nya, yang membuat onar dan kejahatan dengan azab. Janji dan ancaman itu ditujukan kepada umum, kaum atau bangsa. Di dalam surah al-Fātiḥah terdapat ayat-ayat yang mengandung janji dan ancaman, yaitu: a. بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” Dengan menyebut “Maha Pengasih”, “Maha Penyayang”, Allah menjanjikan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, limpahan karunia dan nikmat. b. مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ “Pemilik hari pembalasan“ Pada hari itu perbuatan manusia sewaktu di dunia akan dibalas. Surga untuk mereka yang beriman dan berbuat baik, dan neraka bagi mereka yang ingkar dan berbuat salah. Ini adalah janji dan peringatan. c. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ “Tunjukilah kami jalan yang lurus” Orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus akan berbahagia, dan yang menghindarkan diri dari jalan yang lurus akan celaka. Dengan ini dapat dipahami adanya janji dan ancaman. d. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Ada orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu rasul-rasul, nabi-nabi, orang-orang saleh dan ṣiddīqīn. Orang-orang yang semacam ini akan diberi pahala dan ganjaran oleh Allah, yaitu surga jannatun-na‘īm, dan ini adalah janji-Nya. Di samping itu, ada pula orang-orang yang dimurkai Allah, yaitu mereka yang tak mau menjalani jalan yang lurus, padahal dia tahu bahwa itulah jalan yang benar, dan ada pula orang yang sesat, yaitu orang yang tak mengetahui jalan yang lurus itu atau dia mengetahuinya, tetapi dia tersesat dalam menempuh jalan itu. Mereka yang dimurkai Allah dan orang yang sesat itu akan menderita hukuman dari Allah, dan ini adalah suatu peringatan. Kisah-Kisah Untuk menjadi contoh dan teladan, pelajaran dan iktibar, Al-Qur’an telah menceritakan keadaan bangsa-bangsa dan kaum-kaum yang telah lalu dan bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi kepada mereka dan telah membuat peraturan, hukum dan syariat untuk kebahagiaan hidup mereka. Di antara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak, dan Allah menerangkan apa akibat dari penerimaan atau penolakan itu, untuk dijadikan iktibar dan pelajaran. Lebih kurang tiga perempat dari isi Al-Qur’an adalah cerita tentang bangsa-bangsa dan umat yang lalu, serta anjuran dari Allah untuk mengambil iktibar dan pelajaran dari keadaan mereka. Di dalam surah al-Fātiḥah ini keadaan bangsa-bangsa dan umat-umat yang telah lalu itu dipaparkan oleh Allah dalam firman-Nya: صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Dengan keterangan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa surah al-Fātiḥah mengandung kesimpulan isi Al-Qur’an dalam surah-surah yang berikutnya.
null
null
null
null
1. Rabb رَبّ (al-Fātiḥah/1: 2) Kata rabb secara etimologi berarti, “pemelihara”, “pendidik”, “pengasuh”, “pengatur”, dan “yang menumbuhkan”. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan, karena Tuhanlah yang secara hakiki sebagai pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluknya. Oleh sebab itu, kata rabb biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “Tuhan”. Kata rabb di dalam Al-Qur’an disebut 151 kali. 2. Ar-Raḥmān, ar-Raḥīm اَلرَّحْمٰن اَلرَّحِيْم (al-Fātiḥah/1: 3) Kata ar-raḥmān terambil dari ar-raḥmah yang berarti belas kasihan, yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi nikmat dan karunia. Jadi, kata ar-raḥmān berarti “Yang berbuat (memberi) nikmat dan karunia yang banyak”. Kata ar-raḥmān disebutkan dalam Al-Qur’an 57 kali di berbagai surah, termasuk pada Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata ar-raḥmān terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, ar-Ra‘ad, al-Isrā’, Maryam, Ṭāhā, al-Anbiyā’, al-Furqān, asy-Syu‘arā’, an-Naml, Yāsīn, Fuṣṣilat, az-Zukhruf, Qāf, ar-Raḥmān, al-Ḥasyr, al-Mulk, dan an-Naba’. Kata ar-raḥīm juga diambil dari kata ar-raḥmah. Arti ar-raḥīm ialah: “Yang mempunyai sifat belas kasihan dan sifat itu tetap padanya selama-lamanya”. Kata ar-raḥīm disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 95 kali termasuk dalam Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata Ar-raḥīm tersebut terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, Āli ‘Imrān, an-Nisā’, al-Mā’idah, al-An‘ām, al-A‘rāf, al-Anfāl, at-Taubah, Yūnus, Hūd, Yūsuf, Ibrāhīm, al-Ḥijr, an-Naḥl, al-Ḥajj, an-Nūr, asy-Syu‘arā’, an-Naml, al-Qaṣaṣ, ar-Rūm, as-Sajdah, Saba’, Yāsīn, az-Zumar, Fuṣṣilat, asy-Syūrā, ad-Dukhān, al-Aḥqāf, al-Ḥujurāt, aṭ-Ṭūr, al-Ḥadīd, al-Mujādilah, al-Ḥasyr, al-Mumtaḥanah, at-Tagābun, at-Taḥrīm, dan al-Muzzammil. Ar-raḥmān dan ar-raḥīm maksudnya bahwa Tuhan telah memberi nikmat yang banyak dengan murah dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia bersifat belas kasihan kepada makhluk-Nya. Karena sifat belas kasihan itu merupakan sifat yang tetap pada-Nya, maka nikmat dan karunia Allah tidak ada putus-putusnya.
null
null
3
1
الفاتحة
Al-Fātiḥah
Al-Fatihah
Pembuka
7
1
Makkiyah
3
1
0
1
1
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ
Ar-raḥmānir-raḥīm(i).
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
null
null
Dialah Yang Maha Pengasih, Pemilik dan sumber sifat kasih, Yang menganugerahkan segala macam karunia, baik besar maupun kecil, kepada seluruh makhluk, Maha Penyayang Yang selalu tiada henti memberi kasih dan kebaikan kepada orang-orang yang beriman.
Pada ayat dua di atas Allah swt menerangkan bahwa Dia adalah Tuhan seluruh alam. Maka untuk mengingatkan hamba kepada nikmat dan karunia yang berlipat-ganda, yang telah dilimpahkan-Nya, serta sifat dan cinta kasih sayang yang abadi pada diri-Nya, diulang-Nya sekali lagi menyebut ar-Raḥmān ar-Raḥīm. Yang demikian dimaksudkan agar gambaran keganasan dan kezaliman seperti raja-raja yang dipertuan dan bersifat sewenang-wenang lenyap dari pikiran hamba. Allah mengingatkan dalam ayat ini bahwa sifat ketuhanan Allah terhadap hamba-Nya bukanlah sifat keganasan dan kezaliman, tetapi berdasarkan cinta dan kasih sayang. Dengan demikian manusia akan mencintai Tuhannya, dan menyembah Allah dengan hati yang aman dan tenteram, bebas dari rasa takut dan gelisah. Malah dia akan mengambil pelajaran dari sifat-sifat Allah. Dia akan mendasarkan pergaulan dan tingkah lakunya terhadap manusia sesamanya, atau terhadap orang yang di bawah pimpinannya, malah terhadap binatang yang tak pandai berbicara sekalipun, atas sifat cinta dan kasih sayang itu. Karena dengan jalan demikianlah manusia akan mendapat rahmat dan karunia dari Tuhannya. Rasulullah bersabda: اِنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ. (رواه الطبراني) Allah hanya sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih. (Riwayat at-Ṭabrānī) الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمٰنُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ اِرْحَمُوْا مَنْ فِى اْلأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِىالسَّمَاءِ. (رواه احمد وابو داود والترمذي والحاكم) Orang-orang yang penyayang, akan disayangi oleh Allah yang Rahman Tabaraka wa Ta‘ala.(Oleh karena itu) sayangilah semua makhluk yang di bumi, niscaya semua makhluk yang di langit akan menyayangi kamu semua. (Riwayat Aḥmad, Abū Dāwud at-Tirmiżī dan al-Ḥākim). Rasulullah bersabda: مَنْ رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيْحَةَ عُصْفُوْرٍ رَحِمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (رواه البخاري) “Siapa yang kasih sayang meskipun kepada seekor burung (pipit) yang disembelih, akan disayangi Allah pada hari Kiamat. (Riwayat al-Bukhārī) Maksud hadis yang ketiga ialah menggunakan aturan dan tata cara pada waktu menyembelih burung, misalnya memakai pisau yang tajam. Dapat pula dipahami dari urutan kata ar-Raḥmān, ar-Raḥīm, bahwa penjagaan, pemeliharaan dan asuhan Allah terhadap seluruh alam, bukanlah karena mengharapkan sesuatu dari alam itu, tetapi semata-mata karena rahmat dan kasih sayang-Nya. Boleh jadi ada yang terlintas dalam pikiran orang, mengapa Allah membuat peraturan dan hukum, dan menghukum orang-orang yang melanggar peraturan itu? Pikiran ini akan hilang bila diketahui bahwa peraturan dan hukum, begitu juga azab di akhirat atau di dunia yang dibuat Allah untuk hamba-Nya yang melanggar tidaklah berlawanan dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena peraturan dan hukum itu rahmat dari Allah demi untuk kebaikan manusia itu sendiri. Begitu pula azab dari Allah terhadap hamba-Nya yang melanggar peraturan dan hukum itu sesuai dengan keadilan-Nya.
Nama, Tempat Diturunkan, dan Jumlah Ayat Surah pertama al-Fātiḥah mempunyai bermacam-macam nama, antara lain: 1. Surah al-Fātiḥah Kata “Fātiḥah” terambil dari kata kerja fataḥa yang berarti “membuka” atau “memulai”. Sedangkan “al-” adalah kata sandang, artikel definitif, itu, penunjuk suatu kata benda. Al-Fātiḥah di sini berarti “Pembuka” atau “Pemula”. Surah ini dinamakan “al-Fātiḥah” karena dengan surah inilah dibuka Al-Qur’an, artinya dengan surah inilah dimulai susunan surah-surah Al-Qur’an. Peletakannya di permulaan Al-Qur’an berdasarkan tauqīfi, artinya perintah dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. 2. Ummul-Qur’ān atau Ummul-Kitāb Di samping nama “al-Fātiḥah“, surah ini juga dinamakan Ummul-Qur’ān (Induk Al-Qur’an) atau Ummul-Kitāb (Induk Al-Kitab), karena merupakan induk, pokok, atau basis bagi Al-Qur’an seluruhnya, dengan arti bahwa surah al-Fātiḥah mengandung pokok-pokok isi Al-Qur’an 3. As-Sab‘ul Maṡānī Surah al-Fātiḥah juga dinamai as-Sab‘ul-Maṡānī (tujuh yang berulang-ulang). Dinamai demikian karena ayatnya berjumlah tujuh, dan dibaca berulang-ulang dalam salat. Salat tidak sah tanpa membaca surah al-Fātiḥah, berdasarkan Hadis: لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. (رواه اصحاب الستة عن عبادة بن الصامت) Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca al-Fātiḥah. (Riwayat Aṣḥābus-Sittah dari ‘Ubadah bin aṣ-Ṣāmit) Selain beberapa nama yang disebutkan, masih ada nama-nama lain, yaitu al-Kanz (Perbendaharaan), al-Ḥamd (Pujian), aṣ-Ṣalāh (Salat), al-Wāqiyah (Yang Me-lindungi), Asāsul-Qur'ān (Pokok-pokok Al-Qur’an), asy-Syāfiyah (Penyembuhan), al-Kāfiyah (Yang Mencukupi), ar-Ruqyah (Bacaan untuk Pengobatan), asy-Syukur (Syukur) ad-Du’ā (Doa) dan al-Asās (Asas Segala Sesuatu). Surah al-Fātiḥah diturunkan di Mekah, jadi termasuk surah Makkiyyah. Surah ini diturunkan pada waktu pertama kali disyariatkan salat dan diwajibkan membacanya di dalam salat, karena itu, ia adalah surah yang pertama diturunkan dengan lengkap. Dalam surah ini terdapat kesimpulan dari isi keseluruhan Al-Qur’an. Pokok-Pokok Isinya Telah disebutkan di atas, bahwa surah al-Fātiḥah adalah induk dari Al-Qur’an seluruhnya, sehingga ia merupakan intisari dari isi Al-Qur’an, yaitu: 1. Akidah 2. Ibadah 3. Hukum-hukum 4. Janji dan ancaman 5. Kisah-kisah. Akidah Akidah adalah yang pertama kali dibawa oleh Al-Qur’an dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Para nabi dan rasul yang telah diutus sebelum Muhammad saw. juga menanamkan keimanan ini sejak pertama kali mereka diutus kepada umatnya. Keimanan yang dikandung oleh Al-Qur’an meliputi keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, hari akhirat serta qaḍa' dan qadar. Pada waktu Al-Qur’an diturunkan, keimanan yang dibawa oleh para rasul sebelumnya sudah kabur, tauhid yang murni tidak ada lagi. Kepada umat-umat terdahulu telah diutus para rasul, dan mereka telah mempunyai kitab-kitab samawi. Mereka kemudian memandang para rasul, orang-orang saleh, dan malaikat-malaikat sebagai Tuhan. Kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para nabi dan rasul kepada mereka sudah diubah oleh tangan mereka sendiri. Bangsa Arab, baik yang telah pernah menganut ajaran-ajaran Nabi Ibrahim, maupun tidak, sebagian besar telah menjadi penganut kepercayaan waṡani, penyembah patung dan dewa-dewa, sehingga menurut riwayat, di sekitar Ka‘bah terdapat 360 buah patung. Maka, datanglah Al-Qur’an untuk menyucikan akidah manusia dari berbagai kotoran syirik, dengan membawa akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh berbagai kepercayaan dan perbuatan menuhankan sesuatu dalam alam ini. Akidah tauhid yang dibawa oleh Al-Qur’an itu adalah akidah yang amat jelas dan tegas, dapat dipahami akal, dan yang paling sempurna. Tuhan Yang Maha Esa, Dialah yang Khalik, sedang selain Dia adalah makhluk. Tak ada permulaan-Nya, dan tak ada kesudahan-Nya. Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia. Alam semesta ini makhluk Allah, yang akan lenyap dan binasa dengan kehendak Allah, karena keberadaannya juga dengan kehendak Allah. Di dalam surah al-Fātiḥah, akidah tauhid ini terdapat dalam ayat-ayat: a. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢ “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam” Maksud ayat “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,” adalah bahwa yang berhak dipuji hanyalah Allah, maka pujian haruslah dihadapkan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan “semua puji” meliputi: (1) puji Tuhan kepada diri-Nya; (2) puji Allah kepada makhluk-Nya; (3) puji makhluk kepada makhluk; dan (4) puji makhluk kepada Tuhannya. Pada hakikatnya, segala puji itu milik Allah. Seseorang dipuji karena sifat-sifat yang mulia yang ada pada dirinya, atau karena perbuatan, jasa dan budi baiknya. Pujian itu hanya semata-mata milik Allah, karena Dialah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang menyebabkan Dia berhak dipuji, umpama: sifat Maha Esa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuasa, Mahaadil, Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Pemaaf dan lain sebagainya. Pernyataan seorang hamba bahwa hanya Allah sajalah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan bahwa Dia sajalah yang telah memberi nikmat dan karunia, merupakan inti dari keimanan kepada Allah dan merupakan akidah tauhid yang sebenarnya. Keimanan kepada Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, dan akidah tauhid yang murni adalah ajaran Islam yang terpenting. Sebab itu di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah Rabb bagi seluruh alam. Kata Rabb itu selain bermakna “Pemilik” juga berarti “Pendidik” atau “Pengasuh”. Dengan ini jelas bahwa apa pun yang berada dalam alam ini adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan, mendidik, mengasuh, menumbuhkan dan memeliharanya. Tidak ada yang bersekutu dengan Dia. Sejalan dengan ini, maka makhluk itu bagaimanapun kecil dan halusnya dan jauh tempatnya tetap berada di bawah pengetahuan, lindungan dan pemeliharaan Allah. Allah telah memberikan kepada makhluk-Nya suatu bentuk, lalu dikaruniakan-Nya akal, naluri dan kodrat alamiah yang dapat dipergunakan untuk kelanjutan hidupnya. Sesudah itu berbagai nikmat tersebut tidak dilepaskan begitu saja oleh Allah, melainkan selalu dipelihara, dilindungi dan dijaga-Nya. Pendidikan, pemeliharaan, penumbuhan oleh Allah terhadap makhluk-Nya haruslah diperhatikan dan dipelajari oleh manusia dengan sedalam-dalamnya, dan memang sejak dahulu sampai sekarang telah diperhatikan dan dipelajari oleh para pemikir dan para sarjana, sehingga telah menjadi sumber berbagai macam ilmu pengetahuan, yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kebesaran Allah, serta berguna bagi masyarakat. b. الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ ٣ (الفاتحة) “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Ayat ini berisi keimanan, karena dalam ayat ini dinyatakan dengan lebih jelas akidah tauhid. Ayat ini menerangkan bahwa hanya Allah sajalah yang berhak disembah dan hanya kepada Allah sajalah manusia seharusnya memohon pertolongan. Jadi, manusia sebagai makhluk Allah, haruslah berhubungan langsung dengan Allah sebagai Khaliknya. Ketika manusia berdoa memohon sesuatu haruslah langsung ditujukan kepada Allah, Khaliknya tanpa perantaraan siapa dan apa pun juga. Dengan demikian, terbasmilah sampai ke akar-akarnya kepercayaan syirik (mempersekutukan Allah, membesarkan apa pun selain Allah) kepercayaan waṡani, pagan (menyembah dewa-dewa, matahari, bulan, bintang-bintang, dan lain-lain), kepercayaan majusi (menyembah api) dan sebagainya, yaitu kepercayaan yang banyak berkembang dan dianut oleh segala bangsa, sebelum datang agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kedua ayat yang disebutkan itu: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ adalah inti keimanan dan tauhid. Ayat-ayat lain, yang menyeru kepada tauhid dan memberantas kepercayaan syirik waṡani, majusi, dan sebagainya, adalah penjelasan dari kedua ayat itu. Pada dasarnya, semua ayat isi surah al-Fātiḥah itu sejak dari بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ sampai dengan صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ menerangkan akidah tauhid. Ibadah Ibadah adalah buah dari keimanan kepada adanya Allah, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Orang yang meyakini adanya segala sifat kesempurnaan-Nya akan menyembah Allah. Ajaran ibadah ini dipaparkan di dalam surah al-Fātiḥah dengan firman-Nya: اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Di dalam ayat ini Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah hanya kepada Allah semata. Maka ayat ini selain mengandung ajaran tentang tauhid, juga mengandung ajaran ibadah kepada Yang Maha Esa itu. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus. Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, Allah mengada-kan peraturan-peraturan, hukum-hukum, menjelaskan kepercayaan, memberi pelajaran dan contoh-contoh. Ini semua adalah laksana jalan lurus yang diben-tangkan Allah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Maka berbahagialah mereka yang menjalaninya dan sengsaralah orang yang menghindari diri dari jalan itu. Mengikuti jalan yang lurus ini artinya ialah beribadah kepada Allah, dengan mematuhi peraturan-peraturan, menjalankan hukum-hukum, dan berpegang ke-pada akidah yang benar, mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh yang telah diberikan Allah. Hal itu diterangkan dalam ayat-ayat lain, yang menjadi uraian dari surah al-Fātiḥah ini. Ibadah tidak dapat dipisahkan dari tauhid, sebagaimana tauhid pun tidak dapat dipisahkan dari ibadah, karena ibadah adalah buah dari tauhid, dan ia tak mempunyai nilai dan harga kalau timbulnya tidak dari perasaan tauhid. Demikian pula halnya dengan tauhid, yakni tauhid itu tidak akan subur hidup-nya di dalam jiwa dan raga manusia, kalau tidak selalu dipupuk dengan ibadah. Sebab itu, di dalam surah al-Fātiḥah ini, di samping disebut tauhid, disebut juga ibadah. Kedua-duanya secara ringkas akan diikuti dengan penjelasan-penje-lasan pada ayat-ayat lain di dalam surah-surah yang lain. Hukum-Hukum Dalam rangka beribadah kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, Allah menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan; ada yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan masyarakat dan alam seisinya. Di dalam Al-Qur’an banyak didapati ayat yang berhubungan dengan hukum dan peraturan itu. Semua ayat ini adalah penjelasan dari apa yang telah dican-tumkan dalam surah al-Fātiḥah. Allah memberi tuntunan hukum dan peraturan dalam firman-Nya: اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus Jalan yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, yaitu akidah (kepercayaan) yang benar, hukum dan peraturan, pelajaran yang dibawa oleh Al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas. Janji dan Ancaman Al-Qur’an juga berisi janji dan ancaman. Dia menjanjikan kebahagiaan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik. Sebaliknya Dia memperingatkan mereka yang mempersekutukan-Nya, yang membuat onar dan kejahatan dengan azab. Janji dan ancaman itu ditujukan kepada umum, kaum atau bangsa. Di dalam surah al-Fātiḥah terdapat ayat-ayat yang mengandung janji dan ancaman, yaitu: a. بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” Dengan menyebut “Maha Pengasih”, “Maha Penyayang”, Allah menjanjikan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, limpahan karunia dan nikmat. b. مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ “Pemilik hari pembalasan“ Pada hari itu perbuatan manusia sewaktu di dunia akan dibalas. Surga untuk mereka yang beriman dan berbuat baik, dan neraka bagi mereka yang ingkar dan berbuat salah. Ini adalah janji dan peringatan. c. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ “Tunjukilah kami jalan yang lurus” Orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus akan berbahagia, dan yang menghindarkan diri dari jalan yang lurus akan celaka. Dengan ini dapat dipahami adanya janji dan ancaman. d. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Ada orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu rasul-rasul, nabi-nabi, orang-orang saleh dan ṣiddīqīn. Orang-orang yang semacam ini akan diberi pahala dan ganjaran oleh Allah, yaitu surga jannatun-na‘īm, dan ini adalah janji-Nya. Di samping itu, ada pula orang-orang yang dimurkai Allah, yaitu mereka yang tak mau menjalani jalan yang lurus, padahal dia tahu bahwa itulah jalan yang benar, dan ada pula orang yang sesat, yaitu orang yang tak mengetahui jalan yang lurus itu atau dia mengetahuinya, tetapi dia tersesat dalam menempuh jalan itu. Mereka yang dimurkai Allah dan orang yang sesat itu akan menderita hukuman dari Allah, dan ini adalah suatu peringatan. Kisah-Kisah Untuk menjadi contoh dan teladan, pelajaran dan iktibar, Al-Qur’an telah menceritakan keadaan bangsa-bangsa dan kaum-kaum yang telah lalu dan bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi kepada mereka dan telah membuat peraturan, hukum dan syariat untuk kebahagiaan hidup mereka. Di antara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak, dan Allah menerangkan apa akibat dari penerimaan atau penolakan itu, untuk dijadikan iktibar dan pelajaran. Lebih kurang tiga perempat dari isi Al-Qur’an adalah cerita tentang bangsa-bangsa dan umat yang lalu, serta anjuran dari Allah untuk mengambil iktibar dan pelajaran dari keadaan mereka. Di dalam surah al-Fātiḥah ini keadaan bangsa-bangsa dan umat-umat yang telah lalu itu dipaparkan oleh Allah dalam firman-Nya: صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Dengan keterangan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa surah al-Fātiḥah mengandung kesimpulan isi Al-Qur’an dalam surah-surah yang berikutnya.
null
null
null
null
1. Rabb رَبّ (al-Fātiḥah/1: 2) Kata rabb secara etimologi berarti, “pemelihara”, “pendidik”, “pengasuh”, “pengatur”, dan “yang menumbuhkan”. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan, karena Tuhanlah yang secara hakiki sebagai pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluknya. Oleh sebab itu, kata rabb biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “Tuhan”. Kata rabb di dalam Al-Qur’an disebut 151 kali. 2. Ar-Raḥmān, ar-Raḥīm اَلرَّحْمٰن اَلرَّحِيْم (al-Fātiḥah/1: 3) Kata ar-raḥmān terambil dari ar-raḥmah yang berarti belas kasihan, yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi nikmat dan karunia. Jadi, kata ar-raḥmān berarti “Yang berbuat (memberi) nikmat dan karunia yang banyak”. Kata ar-raḥmān disebutkan dalam Al-Qur’an 57 kali di berbagai surah, termasuk pada Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata ar-raḥmān terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, ar-Ra‘ad, al-Isrā’, Maryam, Ṭāhā, al-Anbiyā’, al-Furqān, asy-Syu‘arā’, an-Naml, Yāsīn, Fuṣṣilat, az-Zukhruf, Qāf, ar-Raḥmān, al-Ḥasyr, al-Mulk, dan an-Naba’. Kata ar-raḥīm juga diambil dari kata ar-raḥmah. Arti ar-raḥīm ialah: “Yang mempunyai sifat belas kasihan dan sifat itu tetap padanya selama-lamanya”. Kata ar-raḥīm disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 95 kali termasuk dalam Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata Ar-raḥīm tersebut terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, Āli ‘Imrān, an-Nisā’, al-Mā’idah, al-An‘ām, al-A‘rāf, al-Anfāl, at-Taubah, Yūnus, Hūd, Yūsuf, Ibrāhīm, al-Ḥijr, an-Naḥl, al-Ḥajj, an-Nūr, asy-Syu‘arā’, an-Naml, al-Qaṣaṣ, ar-Rūm, as-Sajdah, Saba’, Yāsīn, az-Zumar, Fuṣṣilat, asy-Syūrā, ad-Dukhān, al-Aḥqāf, al-Ḥujurāt, aṭ-Ṭūr, al-Ḥadīd, al-Mujādilah, al-Ḥasyr, al-Mumtaḥanah, at-Tagābun, at-Taḥrīm, dan al-Muzzammil. Ar-raḥmān dan ar-raḥīm maksudnya bahwa Tuhan telah memberi nikmat yang banyak dengan murah dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia bersifat belas kasihan kepada makhluk-Nya. Karena sifat belas kasihan itu merupakan sifat yang tetap pada-Nya, maka nikmat dan karunia Allah tidak ada putus-putusnya.
null
null
4
1
الفاتحة
Al-Fātiḥah
Al-Fatihah
Pembuka
7
1
Makkiyah
4
1
0
1
1
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ
Māliki yaumid-dīn(i).
Pemilik hari Pembalasan.2)
2
2) Yaumid-dīn (hari Pembalasan) adalah hari ketika kelak manusia menerima balasan atas amal-amalnya yang baik dan yang buruk. Hari itu disebut juga yaumul-qiyāmah (hari Kiamat), yaumul-ḥisāb (hari Penghitungan), dan sebagainya.
Dialah satu-satunya Pemilik hari Pembalasan dan perhitungan atas segala perbuatan, yaitu hari kiamat. Kepemilikan-Nya pada hari itu bersifat mutlak dan tidak disekutui oleh suatu apa pun.
Sesudah Allah menyebutkan beberapa sifat-Nya, yaitu: Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, maka diiringi-Nya dengan menyebutkan satu sifat-Nya lagi, yaitu “menguasai hari pembalasan”. Penyebutan ayat ini dimaksudkan agar kekuasaan Allah atas alam ini tak terhenti sampai di dunia ini saja, tetapi terus berkelanjutan sampai hari akhir. Ada dua macam bacaan berkenaan dengan Mālik. Pertama, dengan meman-jangkan mā, dan kedua dengan memendekkannya. Menurut bacaan yang perta-ma, Mālik artinya “Yang memiliki” (Yang empunya). Sedang menurut bacaan yang kedua, artinya “Raja”. Kedua bacaan itu benar. Baik menurut bacaan yang pertama ataupun bacaan yang kedua, dapat dipa-hami dari kata itu arti “berkuasa” dan bertindak dengan sepenuhnya. Sebab itulah diterjemahkan dengan “Yang menguasai”. “Yaum” artinya hari, tetapi yang dimaksud di sini ialah waktu secara mutlak. Ad-dīn banyak artinya, di antaranya: (1) perhitungan, (2) ganjaran, pembalas-an, (3) patuh, (4) menundukkan, dan (5) syariat, agama. Yang selaras di sini ialah dengan arti “pembalasan”. Jadi, Māliki yaumiddīn maksudnya “Allah itulah yang berkuasa dan yang dapat bertindak dengan sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada hari pembalasan.” Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal yang terjadi, yaitu Kiamat, kebangkitan, berkumpul, perhitungan, pembalasan, tetapi pembalasan sajalah yang disebut oleh Allah di sini, karena itulah yang terpenting. Yang lain dari itu, umpamanya kiamat, kebangkitan dan seterusnya, merupakan pendahuluan dari pembalasan, apalagi untuk targīb dan tarhīb (menggalakkan dan menakut-nakuti), penyebutan “hari pembalasan” itu lebih tepat. Hari Akhirat Menurut Pendapat Akal (Filsafat) Kepercayaan tentang adanya hari akhirat, yang di hari itu akan diadakan perhitungan terhadap perbuatan manusia pada masa hidupnya dan diadakan pembalasan yang setimpal, adalah suatu kepercayaan yang sesuai dengan akal. Sebab itu adanya hidup yang lain, sesudah hidup di dunia ini, bukan saja ditetapkan oleh agama, tetapi juga ditunjukkan oleh akal. Seseorang yang mau berpikir tentu akan merasa bahwa hidup di dunia ini belumlah sempurna, perlu disambung dengan hidup yang lain. Alangkah banyaknya orang yang teraniaya hidup di dunia ini telah pulang ke rahmatullah sebelum mendapat keadilan. Alangkah banyaknya orang yang berjasa kecil atau besar, belum mendapat penghargaan atas jasanya. Alangkah banyaknya orang yang telah berusaha, memeras keringat, membanting tulang, tetapi belum sempat lagi merasakan buah usahanya itu. Sebaliknya, alangkah banyaknya penjahat, penganiaya, pembuat onar, yang tak dapat dijangkau oleh pengadilan di dunia ini. Lebih-lebih kalau yang melakukan kejahatan atau aniaya itu orang yang berkuasa sebagai raja, pembesar dan lain-lain. Maka biarpun kejahatan dan aniaya itu telah merantai bangsa seluruhnya, tidaklah akan digugat orang, malah dia tetap dipuja dan dihormati. Maka, dimanakah akan didapat keadilan itu, seandainya nanti tidak ada mahkamah yang lebih tinggi, Mahkamah Allah di hari kemudian? Sebab itu, para pemikir dari zaman dahulu telah ada yang sampai kepada kepercayaan tentang adanya hari akhirat itu, semata-mata dengan jalan berpikir, antara lain Pitagoras. Filsuf ini berpendapat bahwa hidup di dunia ini merupakan bekal hidup yang abadi di akhirat kelak. Sebab itu sejak dari dunia hendaklah orang bersedia untuk hidup yang abadi. Sokrates, Plato dan Aristoteles berpendapat, “Jiwa yang baik akan merasakan kenikmatan dan kelezatan di akhirat, tetapi bukan kelezatan kebendaan, karena kelezatan kebendaan itu terbatas dan mendatangkan bosan dan jemu. Hanya kelezatan rohani, yang betapa pun banyak dan lamanya, tidak menyebabkan bosan dan jemu.” Kepercayaan Masyarakat Arab Sebelum Islam tentang Hari Akhirat Di antara masyarakat Arab sebelum Islam terdapat beberapa pemikir dan pujangga yang telah mempercayai adanya hari kemudian, seperti Zuhair bin Abi Sulma yang meninggal dunia setahun sebelum Nabi Muhammad saw diutus Allah sebagai rasul. Ada pula di antara mereka yang tidak mempercayai adanya hari kemudian. Dengarlah apa yang dikatakan oleh salah seorang penyair mereka: “Hidup, sesudah itu mati, sesudah itu dibangkitkan lagi, itulah cerita dongeng, hai fulan.” Karena itu, datanglah agama Islam, membawa kepastian tentang adanya hari kemudian. Pada hari itu akan dihisab semua perbuatan yang telah dikerjakan manusia selama hidupnya, besar atau kecil. Allah berfirman: فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ ٧ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ ٨ (الزلزلة) (7) Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, (8) dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (az-Zalzalah/99: 7-8) Tidak sedikit ayat di dalam Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa di antara mereka memang banyak yang tidak percaya adanya hari akhirat; hidup hanya di dunia, setelah itu selesai (al-An‘ām/6: 29 ; al-Mu’minūn/23: 37). Mereka berkata, bila seorang bapak mati, maka lahir anak, bila suatu bangsa punah, maka datang bangsa lain. Mereka tidak percaya, bahwa sesudah mati manusia masih akan hidup kembali (Hūd/11: 7; al-Isrā’/17: 49) dan banyak lagi ayat senada yang menggambarkan pendirian demikian. Di dalam sejarah pemikiran tercatat bahwa sejak dahulu kala banyak anggapan yang demikian itu.
Nama, Tempat Diturunkan, dan Jumlah Ayat Surah pertama al-Fātiḥah mempunyai bermacam-macam nama, antara lain: 1. Surah al-Fātiḥah Kata “Fātiḥah” terambil dari kata kerja fataḥa yang berarti “membuka” atau “memulai”. Sedangkan “al-” adalah kata sandang, artikel definitif, itu, penunjuk suatu kata benda. Al-Fātiḥah di sini berarti “Pembuka” atau “Pemula”. Surah ini dinamakan “al-Fātiḥah” karena dengan surah inilah dibuka Al-Qur’an, artinya dengan surah inilah dimulai susunan surah-surah Al-Qur’an. Peletakannya di permulaan Al-Qur’an berdasarkan tauqīfi, artinya perintah dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. 2. Ummul-Qur’ān atau Ummul-Kitāb Di samping nama “al-Fātiḥah“, surah ini juga dinamakan Ummul-Qur’ān (Induk Al-Qur’an) atau Ummul-Kitāb (Induk Al-Kitab), karena merupakan induk, pokok, atau basis bagi Al-Qur’an seluruhnya, dengan arti bahwa surah al-Fātiḥah mengandung pokok-pokok isi Al-Qur’an 3. As-Sab‘ul Maṡānī Surah al-Fātiḥah juga dinamai as-Sab‘ul-Maṡānī (tujuh yang berulang-ulang). Dinamai demikian karena ayatnya berjumlah tujuh, dan dibaca berulang-ulang dalam salat. Salat tidak sah tanpa membaca surah al-Fātiḥah, berdasarkan Hadis: لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. (رواه اصحاب الستة عن عبادة بن الصامت) Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca al-Fātiḥah. (Riwayat Aṣḥābus-Sittah dari ‘Ubadah bin aṣ-Ṣāmit) Selain beberapa nama yang disebutkan, masih ada nama-nama lain, yaitu al-Kanz (Perbendaharaan), al-Ḥamd (Pujian), aṣ-Ṣalāh (Salat), al-Wāqiyah (Yang Me-lindungi), Asāsul-Qur'ān (Pokok-pokok Al-Qur’an), asy-Syāfiyah (Penyembuhan), al-Kāfiyah (Yang Mencukupi), ar-Ruqyah (Bacaan untuk Pengobatan), asy-Syukur (Syukur) ad-Du’ā (Doa) dan al-Asās (Asas Segala Sesuatu). Surah al-Fātiḥah diturunkan di Mekah, jadi termasuk surah Makkiyyah. Surah ini diturunkan pada waktu pertama kali disyariatkan salat dan diwajibkan membacanya di dalam salat, karena itu, ia adalah surah yang pertama diturunkan dengan lengkap. Dalam surah ini terdapat kesimpulan dari isi keseluruhan Al-Qur’an. Pokok-Pokok Isinya Telah disebutkan di atas, bahwa surah al-Fātiḥah adalah induk dari Al-Qur’an seluruhnya, sehingga ia merupakan intisari dari isi Al-Qur’an, yaitu: 1. Akidah 2. Ibadah 3. Hukum-hukum 4. Janji dan ancaman 5. Kisah-kisah. Akidah Akidah adalah yang pertama kali dibawa oleh Al-Qur’an dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Para nabi dan rasul yang telah diutus sebelum Muhammad saw. juga menanamkan keimanan ini sejak pertama kali mereka diutus kepada umatnya. Keimanan yang dikandung oleh Al-Qur’an meliputi keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, hari akhirat serta qaḍa' dan qadar. Pada waktu Al-Qur’an diturunkan, keimanan yang dibawa oleh para rasul sebelumnya sudah kabur, tauhid yang murni tidak ada lagi. Kepada umat-umat terdahulu telah diutus para rasul, dan mereka telah mempunyai kitab-kitab samawi. Mereka kemudian memandang para rasul, orang-orang saleh, dan malaikat-malaikat sebagai Tuhan. Kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para nabi dan rasul kepada mereka sudah diubah oleh tangan mereka sendiri. Bangsa Arab, baik yang telah pernah menganut ajaran-ajaran Nabi Ibrahim, maupun tidak, sebagian besar telah menjadi penganut kepercayaan waṡani, penyembah patung dan dewa-dewa, sehingga menurut riwayat, di sekitar Ka‘bah terdapat 360 buah patung. Maka, datanglah Al-Qur’an untuk menyucikan akidah manusia dari berbagai kotoran syirik, dengan membawa akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh berbagai kepercayaan dan perbuatan menuhankan sesuatu dalam alam ini. Akidah tauhid yang dibawa oleh Al-Qur’an itu adalah akidah yang amat jelas dan tegas, dapat dipahami akal, dan yang paling sempurna. Tuhan Yang Maha Esa, Dialah yang Khalik, sedang selain Dia adalah makhluk. Tak ada permulaan-Nya, dan tak ada kesudahan-Nya. Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia. Alam semesta ini makhluk Allah, yang akan lenyap dan binasa dengan kehendak Allah, karena keberadaannya juga dengan kehendak Allah. Di dalam surah al-Fātiḥah, akidah tauhid ini terdapat dalam ayat-ayat: a. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢ “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam” Maksud ayat “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,” adalah bahwa yang berhak dipuji hanyalah Allah, maka pujian haruslah dihadapkan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan “semua puji” meliputi: (1) puji Tuhan kepada diri-Nya; (2) puji Allah kepada makhluk-Nya; (3) puji makhluk kepada makhluk; dan (4) puji makhluk kepada Tuhannya. Pada hakikatnya, segala puji itu milik Allah. Seseorang dipuji karena sifat-sifat yang mulia yang ada pada dirinya, atau karena perbuatan, jasa dan budi baiknya. Pujian itu hanya semata-mata milik Allah, karena Dialah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang menyebabkan Dia berhak dipuji, umpama: sifat Maha Esa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuasa, Mahaadil, Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Pemaaf dan lain sebagainya. Pernyataan seorang hamba bahwa hanya Allah sajalah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan bahwa Dia sajalah yang telah memberi nikmat dan karunia, merupakan inti dari keimanan kepada Allah dan merupakan akidah tauhid yang sebenarnya. Keimanan kepada Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, dan akidah tauhid yang murni adalah ajaran Islam yang terpenting. Sebab itu di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah Rabb bagi seluruh alam. Kata Rabb itu selain bermakna “Pemilik” juga berarti “Pendidik” atau “Pengasuh”. Dengan ini jelas bahwa apa pun yang berada dalam alam ini adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan, mendidik, mengasuh, menumbuhkan dan memeliharanya. Tidak ada yang bersekutu dengan Dia. Sejalan dengan ini, maka makhluk itu bagaimanapun kecil dan halusnya dan jauh tempatnya tetap berada di bawah pengetahuan, lindungan dan pemeliharaan Allah. Allah telah memberikan kepada makhluk-Nya suatu bentuk, lalu dikaruniakan-Nya akal, naluri dan kodrat alamiah yang dapat dipergunakan untuk kelanjutan hidupnya. Sesudah itu berbagai nikmat tersebut tidak dilepaskan begitu saja oleh Allah, melainkan selalu dipelihara, dilindungi dan dijaga-Nya. Pendidikan, pemeliharaan, penumbuhan oleh Allah terhadap makhluk-Nya haruslah diperhatikan dan dipelajari oleh manusia dengan sedalam-dalamnya, dan memang sejak dahulu sampai sekarang telah diperhatikan dan dipelajari oleh para pemikir dan para sarjana, sehingga telah menjadi sumber berbagai macam ilmu pengetahuan, yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kebesaran Allah, serta berguna bagi masyarakat. b. الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ ٣ (الفاتحة) “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Ayat ini berisi keimanan, karena dalam ayat ini dinyatakan dengan lebih jelas akidah tauhid. Ayat ini menerangkan bahwa hanya Allah sajalah yang berhak disembah dan hanya kepada Allah sajalah manusia seharusnya memohon pertolongan. Jadi, manusia sebagai makhluk Allah, haruslah berhubungan langsung dengan Allah sebagai Khaliknya. Ketika manusia berdoa memohon sesuatu haruslah langsung ditujukan kepada Allah, Khaliknya tanpa perantaraan siapa dan apa pun juga. Dengan demikian, terbasmilah sampai ke akar-akarnya kepercayaan syirik (mempersekutukan Allah, membesarkan apa pun selain Allah) kepercayaan waṡani, pagan (menyembah dewa-dewa, matahari, bulan, bintang-bintang, dan lain-lain), kepercayaan majusi (menyembah api) dan sebagainya, yaitu kepercayaan yang banyak berkembang dan dianut oleh segala bangsa, sebelum datang agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kedua ayat yang disebutkan itu: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ adalah inti keimanan dan tauhid. Ayat-ayat lain, yang menyeru kepada tauhid dan memberantas kepercayaan syirik waṡani, majusi, dan sebagainya, adalah penjelasan dari kedua ayat itu. Pada dasarnya, semua ayat isi surah al-Fātiḥah itu sejak dari بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ sampai dengan صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ menerangkan akidah tauhid. Ibadah Ibadah adalah buah dari keimanan kepada adanya Allah, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Orang yang meyakini adanya segala sifat kesempurnaan-Nya akan menyembah Allah. Ajaran ibadah ini dipaparkan di dalam surah al-Fātiḥah dengan firman-Nya: اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Di dalam ayat ini Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah hanya kepada Allah semata. Maka ayat ini selain mengandung ajaran tentang tauhid, juga mengandung ajaran ibadah kepada Yang Maha Esa itu. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus. Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, Allah mengada-kan peraturan-peraturan, hukum-hukum, menjelaskan kepercayaan, memberi pelajaran dan contoh-contoh. Ini semua adalah laksana jalan lurus yang diben-tangkan Allah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Maka berbahagialah mereka yang menjalaninya dan sengsaralah orang yang menghindari diri dari jalan itu. Mengikuti jalan yang lurus ini artinya ialah beribadah kepada Allah, dengan mematuhi peraturan-peraturan, menjalankan hukum-hukum, dan berpegang ke-pada akidah yang benar, mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh yang telah diberikan Allah. Hal itu diterangkan dalam ayat-ayat lain, yang menjadi uraian dari surah al-Fātiḥah ini. Ibadah tidak dapat dipisahkan dari tauhid, sebagaimana tauhid pun tidak dapat dipisahkan dari ibadah, karena ibadah adalah buah dari tauhid, dan ia tak mempunyai nilai dan harga kalau timbulnya tidak dari perasaan tauhid. Demikian pula halnya dengan tauhid, yakni tauhid itu tidak akan subur hidup-nya di dalam jiwa dan raga manusia, kalau tidak selalu dipupuk dengan ibadah. Sebab itu, di dalam surah al-Fātiḥah ini, di samping disebut tauhid, disebut juga ibadah. Kedua-duanya secara ringkas akan diikuti dengan penjelasan-penje-lasan pada ayat-ayat lain di dalam surah-surah yang lain. Hukum-Hukum Dalam rangka beribadah kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, Allah menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan; ada yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan masyarakat dan alam seisinya. Di dalam Al-Qur’an banyak didapati ayat yang berhubungan dengan hukum dan peraturan itu. Semua ayat ini adalah penjelasan dari apa yang telah dican-tumkan dalam surah al-Fātiḥah. Allah memberi tuntunan hukum dan peraturan dalam firman-Nya: اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus Jalan yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, yaitu akidah (kepercayaan) yang benar, hukum dan peraturan, pelajaran yang dibawa oleh Al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas. Janji dan Ancaman Al-Qur’an juga berisi janji dan ancaman. Dia menjanjikan kebahagiaan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik. Sebaliknya Dia memperingatkan mereka yang mempersekutukan-Nya, yang membuat onar dan kejahatan dengan azab. Janji dan ancaman itu ditujukan kepada umum, kaum atau bangsa. Di dalam surah al-Fātiḥah terdapat ayat-ayat yang mengandung janji dan ancaman, yaitu: a. بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” Dengan menyebut “Maha Pengasih”, “Maha Penyayang”, Allah menjanjikan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, limpahan karunia dan nikmat. b. مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ “Pemilik hari pembalasan“ Pada hari itu perbuatan manusia sewaktu di dunia akan dibalas. Surga untuk mereka yang beriman dan berbuat baik, dan neraka bagi mereka yang ingkar dan berbuat salah. Ini adalah janji dan peringatan. c. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ “Tunjukilah kami jalan yang lurus” Orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus akan berbahagia, dan yang menghindarkan diri dari jalan yang lurus akan celaka. Dengan ini dapat dipahami adanya janji dan ancaman. d. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Ada orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu rasul-rasul, nabi-nabi, orang-orang saleh dan ṣiddīqīn. Orang-orang yang semacam ini akan diberi pahala dan ganjaran oleh Allah, yaitu surga jannatun-na‘īm, dan ini adalah janji-Nya. Di samping itu, ada pula orang-orang yang dimurkai Allah, yaitu mereka yang tak mau menjalani jalan yang lurus, padahal dia tahu bahwa itulah jalan yang benar, dan ada pula orang yang sesat, yaitu orang yang tak mengetahui jalan yang lurus itu atau dia mengetahuinya, tetapi dia tersesat dalam menempuh jalan itu. Mereka yang dimurkai Allah dan orang yang sesat itu akan menderita hukuman dari Allah, dan ini adalah suatu peringatan. Kisah-Kisah Untuk menjadi contoh dan teladan, pelajaran dan iktibar, Al-Qur’an telah menceritakan keadaan bangsa-bangsa dan kaum-kaum yang telah lalu dan bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi kepada mereka dan telah membuat peraturan, hukum dan syariat untuk kebahagiaan hidup mereka. Di antara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak, dan Allah menerangkan apa akibat dari penerimaan atau penolakan itu, untuk dijadikan iktibar dan pelajaran. Lebih kurang tiga perempat dari isi Al-Qur’an adalah cerita tentang bangsa-bangsa dan umat yang lalu, serta anjuran dari Allah untuk mengambil iktibar dan pelajaran dari keadaan mereka. Di dalam surah al-Fātiḥah ini keadaan bangsa-bangsa dan umat-umat yang telah lalu itu dipaparkan oleh Allah dalam firman-Nya: صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Dengan keterangan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa surah al-Fātiḥah mengandung kesimpulan isi Al-Qur’an dalam surah-surah yang berikutnya.
null
null
null
null
1. Rabb رَبّ (al-Fātiḥah/1: 2) Kata rabb secara etimologi berarti, “pemelihara”, “pendidik”, “pengasuh”, “pengatur”, dan “yang menumbuhkan”. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan, karena Tuhanlah yang secara hakiki sebagai pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluknya. Oleh sebab itu, kata rabb biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “Tuhan”. Kata rabb di dalam Al-Qur’an disebut 151 kali. 2. Ar-Raḥmān, ar-Raḥīm اَلرَّحْمٰن اَلرَّحِيْم (al-Fātiḥah/1: 3) Kata ar-raḥmān terambil dari ar-raḥmah yang berarti belas kasihan, yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi nikmat dan karunia. Jadi, kata ar-raḥmān berarti “Yang berbuat (memberi) nikmat dan karunia yang banyak”. Kata ar-raḥmān disebutkan dalam Al-Qur’an 57 kali di berbagai surah, termasuk pada Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata ar-raḥmān terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, ar-Ra‘ad, al-Isrā’, Maryam, Ṭāhā, al-Anbiyā’, al-Furqān, asy-Syu‘arā’, an-Naml, Yāsīn, Fuṣṣilat, az-Zukhruf, Qāf, ar-Raḥmān, al-Ḥasyr, al-Mulk, dan an-Naba’. Kata ar-raḥīm juga diambil dari kata ar-raḥmah. Arti ar-raḥīm ialah: “Yang mempunyai sifat belas kasihan dan sifat itu tetap padanya selama-lamanya”. Kata ar-raḥīm disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 95 kali termasuk dalam Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata Ar-raḥīm tersebut terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, Āli ‘Imrān, an-Nisā’, al-Mā’idah, al-An‘ām, al-A‘rāf, al-Anfāl, at-Taubah, Yūnus, Hūd, Yūsuf, Ibrāhīm, al-Ḥijr, an-Naḥl, al-Ḥajj, an-Nūr, asy-Syu‘arā’, an-Naml, al-Qaṣaṣ, ar-Rūm, as-Sajdah, Saba’, Yāsīn, az-Zumar, Fuṣṣilat, asy-Syūrā, ad-Dukhān, al-Aḥqāf, al-Ḥujurāt, aṭ-Ṭūr, al-Ḥadīd, al-Mujādilah, al-Ḥasyr, al-Mumtaḥanah, at-Tagābun, at-Taḥrīm, dan al-Muzzammil. Ar-raḥmān dan ar-raḥīm maksudnya bahwa Tuhan telah memberi nikmat yang banyak dengan murah dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia bersifat belas kasihan kepada makhluk-Nya. Karena sifat belas kasihan itu merupakan sifat yang tetap pada-Nya, maka nikmat dan karunia Allah tidak ada putus-putusnya.
null
null
5
1
الفاتحة
Al-Fātiḥah
Al-Fatihah
Pembuka
7
1
Makkiyah
5
1
0
1
1
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ
Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn(u),
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
null
null
Atas dasar itu semua, hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan beribadah dengan penuh ketulusan, kekhusyukan, dan tawakal, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan dalam segala urusan dan keadaan kami, sambil kami berusaha keras.
Di dalam ayat-ayat sebelumnya disebutkan empat macam dari sifat-sifat Allah, yaitu: Pendidik seluruh alam, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Yang menguasai hari pembalasan. Sifat-sifat yang disebutkan itu adalah sifat-sifat kesempurnaan yang hanya Allah saja yang mempunyainya. Sebab itu pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa Allah sajalah yang patut disembah, dan kepada-Nya sajalah seharusnya manusia memohon pertolongan, dan bahwa hamba-Nya haruslah mengikrarkan yang demikian itu. Iyyāka (hanya kepada Engkau). Iyyāka adalah ḍamir untuk orang kedua dalam kedudukan manṣūb karena menjadi maf‘ūl bih (obyek). Dalam tata bahasa Arab maf‘ūl bih harus sesudah fi‘il dan fā‘il. Jika mendahulukan yang seharusnya diucapkan kemudian dalam Balagah menunjukkan qaṣr, yaitu pembatasan yang bisa diartikan “hanya“. Jadi arti ayat ini “Hanya kepada Engkau saja kami menyembah, dan hanya kepada Engkau saja kami mohon pertolongan“. Iyyāka dalam ayat ini diulang dua kali, gunanya untuk menegaskan bahwa ibadah dan isti‘ānah (meminta pertolongan) itu masing-masing khusus dihadapkan kepada Allah serta untuk dapat mencapai kelezatan munajat (berbicara) dengan Allah. Karena bagi seorang hamba Allah yang menyembah dengan segenap jiwa dan raganya tak ada yang lebih nikmat dan lezat perasaannya daripada bermunajat dengan Allah. Baik juga diketahui bahwa dengan memakai iyyāka itu berarti menghadapkan pembicaraan kepada Allah, dengan maksud mengingat Allah swt, seakan-akan kita berada di hadapan-Nya, dan kepada-Nya diarahkan pembicaraan dengan khusyuk dan tawaduk. Seakan-akan kita berkata: “Ya Allah, Żat yang wājibul wujūd, Yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, Yang menjaga dan memelihara seluruh alam, Yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan berlipat ganda, Yang berkuasa di hari pembalasan, Engkau sajalah yang kami sembah, dan kepada Engkau sajalah kami minta pertolongan, karena hanya Engkau yang berhak disembah, dan hanya Engkau yang dapat menolong kami”. Dengan cara seperti itu orang akan lebih khusyuk dalam menyembah Allah dan lebih tergambar kepadanya kebesaran yang disembahnya itu. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dengan sabdanya: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ. (رواه البخاري ومسلم عن عمر بن الخطاب) “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb). Karena surah al-Fātiḥah mengandung ayat munajat (berbicara) dengan Allah menurut cara yang telah diterangkan maka hal itu merupakan rahasia diwajibkan membacanya pada tiap-tiap rakaat dalam salat, karena jiwanya ialah munajat, dengan menghadapkan diri dan memusatkan ingatan kepada Allah. Na‘budu pada ayat ini didahulukan menyebutkannya daripada nasta‘īnu, karena menyembah Allah adalah suatu kewajiban manusia terhadap Tuhan-nya. Tetapi pertolongan dari Allah kepada hamba-Nya adalah hak hamba itu. Maka Allah mengajar hamba-Nya agar menunaikan kewajibannya lebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya. Melihat kata-kata na‘budu dan nasta‘īnu (kami menyembah, kami minta tolong), bukan a‘budu dan asta‘īnu (saya menyembah dan saya minta tolong) adalah untuk memperlihatkan kelemahan manusia, tidak selayaknya manusia mengemukakan dirinya seorang saja dalam menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah. Seakan-akan penunaian kewajiban beribadah dan permohonan pertolongan kepada Allah itu belum lagi sempurna, kecuali kalau dikerjakan bersama-sama. Kedudukan Tauhid di dalam Ibadah dan Sebaliknya Ibadah secara istilah ialah semua perkataan, perbuatan dan pikiran yang bertujuan untuk mencari rida Allah. Arti “ibadah” sebagai disebutkan di atas ialah tunduk dan berserah diri kepada Allah, yang disebabkan oleh kesadaran bahwa Allah yang menciptakan alam ini, Yang menumbuhkan, Yang mengembangkan, Yang menjaga dan memelihara serta Yang membawanya dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain, hingga tercapai kesempurnaannya. Tegasnya, ibadah itu timbulnya dari perasaan tauhid. Oleh karenanya, orang yang suka memikirkan keadaan alam ini, yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bahkan yang mau memperhatikan dirinya sendiri, yakinlah dia bahwa di balik alam yang zahir ada Zat yang gaib yang mengendalikan alam ini, yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, yakni Dialah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Mengetahui dan sebagainya. Maka tumbuhlah dalam sanubarinya perasaan bersyukur dan berutang budi kepada Zat Yang Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Mengetahui itu. Perasaan inilah yang menggerakkan bibirnya untuk menuturkan puji-pujian, dan yang mendorong jiwa dan raganya untuk menyembah dan merendahkan diri kepada Allah Yang Mahakuasa itu sebagai pernyataan bersyukur dan membalas budi kepada-Nya. Tetapi ada juga manusia yang tidak mau berpikir, dan selanjutnya tidak sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, sering melupakan-Nya. Sebab itulah, setiap agama mensyariatkan bermacam-macam ibadah, gunanya untuk mengingatkan manusia kepada kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan keterangan ini terlihat bahwa tauhid dan ibadah itu saling mempengaruhi, dengan arti bahwa tauhid menumbuhkan ibadah, dan ibadah memupuk tauhid. Pengaruh Ibadah terhadap Jiwa Manusia Tiap-tiap ibadah yang dikerjakan karena didorong oleh perasaan yang disebutkan itu, niscaya berpengaruh kepada tabiat dan budi pekerti orang yang melakukannya. Umpamanya, orang yang melaksanakan salat karena sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, dan didorong oleh perasaan bersyukur dan berutang budi kepada-Nya, akan terjauhlah dia dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Dengan demikian salatnya itu akan mencegahnya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu, sesuai dengan firman Allah swt: اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.“ (al-‘Ankabūt/29: 45) Begitu juga ibadah puasa. Ibadah ini akan menimbulkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin. Demikian pula seterusnya dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibadah yang sebenarnya adalah ibadah yang ditimbulkan oleh keyakinan kepada kebesaran dan kekuasaan Allah, serta didorong oleh perasaan bersyukur kepada Allah. Ibadah yang hanya karena ikut-ikutan, atau karena memelihara tradisi yang sudah turun-temurun, bukanlah ibadah yang sebenarnya. Kendatipun seakan-akan berupa ibadah, tetapi tidak mempunyai jiwa ibadah. Tidak ubahnya seperti patung, bagaimanapun miripnya dengan manusia, tidaklah dinamai manusia. Ibadah yang semacam itu tidak ada pengaruhnya kepada tabiat dan akhlak. Berusaha, Berdoa dan Bertawakal Isti‘ānah (memohon pertolongan) seperti disebutkan di atas khusus dihadapkan kepada Allah, dengan arti bahwa tidak ada yang berhak dimohonkan pertolongan kecuali Allah. Pada ayat yang lain Allah menyuruh manusia untuk tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan. Allah berfirman: وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa”. (al-Mā’idah/5: 2) Adakah Pertentangan antara Dua Ayat itu? Tercapainya suatu maksud, atau terlaksananya suatu pekerjaan dengan baik, tergantung kepada terpenuhinya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan itu, dan tidak adanya rintangan-rintangan yang menghalanginya. Manusia telah diberi potensi oleh Allah, baik berupa pikiran maupun kekuatan tubuh, agar bisa mencukupkan syarat-syarat atau menolak rintangan-rintangan dalam menuju suatu maksud, atau mengerjakan suatu pekerjaan. Tetapi, ada di antara syarat-syarat itu yang manusia tidak kuasa mencukupkannya. Di samping itu, ada juga rintangan yang tidak mampu ditolaknya. Begitu pula ada di antara syarat-syarat itu atau di antara halangan-halangan itu yang tidak dapat diketahui. Kendatipun menurut pikiran semua syarat yang diperlukan telah cukup, dan semua rintangan yang menghalangi telah berhasil diatasi, tetapi kadang-kadang hasil pekerjaan tidak seperti yang diharapkan. Ada hal-hal yang berada di luar batas kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang dimintakan pertolongan khusus kepada Allah. Sebaiknya, sesuatu yang masih dalam batas kekuasaan dan kemampuan, manusia disuruh tolong menolong, agar timbul pada masing-masing individu sifat saling mencintai, menghargai, dan gotong-royong. Dengan perkataan lain, manusia disuruh Allah berusaha dengan sekuat tenaga, dan disuruh saling menolong, dan membantu. Di samping menjalankan ikhtiar dan usaha, dia harus pula berdoa, memohon taufik, hidayah dan ma‘ūnah. Ini hendaknya dimohonkan khusus kepada Allah, karena hanya Dia yang kuasa memberinya. Sesudah itu semua, barulah dia bertawakal kepada-Nya. Ibadah itu sendiri pun suatu pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma‘ūnah dari Allah agar semua ibadah terlaksana sesuai dengan yang dimaksud oleh agama. Oleh karena itu, seseorang hendaknya menuturkan bahwa hanya kepada Allah sajalah kita beribadah, diikuti lagi dengan pernyataan bahwa kepada-Nya saja minta pertolongan, terutama pertolongan agar amal ibadah terlaksana sebagaimana mestinya. Ayat di atas, sebagaimana telah disebutkan, mengandung tauhid, karena beribadah semata-mata kepada Allah dan meminta ma‘ūnah khusus kepada-Nya, adalah intisari agama, dan kesempurnaan tauhid.
Nama, Tempat Diturunkan, dan Jumlah Ayat Surah pertama al-Fātiḥah mempunyai bermacam-macam nama, antara lain: 1. Surah al-Fātiḥah Kata “Fātiḥah” terambil dari kata kerja fataḥa yang berarti “membuka” atau “memulai”. Sedangkan “al-” adalah kata sandang, artikel definitif, itu, penunjuk suatu kata benda. Al-Fātiḥah di sini berarti “Pembuka” atau “Pemula”. Surah ini dinamakan “al-Fātiḥah” karena dengan surah inilah dibuka Al-Qur’an, artinya dengan surah inilah dimulai susunan surah-surah Al-Qur’an. Peletakannya di permulaan Al-Qur’an berdasarkan tauqīfi, artinya perintah dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. 2. Ummul-Qur’ān atau Ummul-Kitāb Di samping nama “al-Fātiḥah“, surah ini juga dinamakan Ummul-Qur’ān (Induk Al-Qur’an) atau Ummul-Kitāb (Induk Al-Kitab), karena merupakan induk, pokok, atau basis bagi Al-Qur’an seluruhnya, dengan arti bahwa surah al-Fātiḥah mengandung pokok-pokok isi Al-Qur’an 3. As-Sab‘ul Maṡānī Surah al-Fātiḥah juga dinamai as-Sab‘ul-Maṡānī (tujuh yang berulang-ulang). Dinamai demikian karena ayatnya berjumlah tujuh, dan dibaca berulang-ulang dalam salat. Salat tidak sah tanpa membaca surah al-Fātiḥah, berdasarkan Hadis: لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. (رواه اصحاب الستة عن عبادة بن الصامت) Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca al-Fātiḥah. (Riwayat Aṣḥābus-Sittah dari ‘Ubadah bin aṣ-Ṣāmit) Selain beberapa nama yang disebutkan, masih ada nama-nama lain, yaitu al-Kanz (Perbendaharaan), al-Ḥamd (Pujian), aṣ-Ṣalāh (Salat), al-Wāqiyah (Yang Me-lindungi), Asāsul-Qur'ān (Pokok-pokok Al-Qur’an), asy-Syāfiyah (Penyembuhan), al-Kāfiyah (Yang Mencukupi), ar-Ruqyah (Bacaan untuk Pengobatan), asy-Syukur (Syukur) ad-Du’ā (Doa) dan al-Asās (Asas Segala Sesuatu). Surah al-Fātiḥah diturunkan di Mekah, jadi termasuk surah Makkiyyah. Surah ini diturunkan pada waktu pertama kali disyariatkan salat dan diwajibkan membacanya di dalam salat, karena itu, ia adalah surah yang pertama diturunkan dengan lengkap. Dalam surah ini terdapat kesimpulan dari isi keseluruhan Al-Qur’an. Pokok-Pokok Isinya Telah disebutkan di atas, bahwa surah al-Fātiḥah adalah induk dari Al-Qur’an seluruhnya, sehingga ia merupakan intisari dari isi Al-Qur’an, yaitu: 1. Akidah 2. Ibadah 3. Hukum-hukum 4. Janji dan ancaman 5. Kisah-kisah. Akidah Akidah adalah yang pertama kali dibawa oleh Al-Qur’an dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Para nabi dan rasul yang telah diutus sebelum Muhammad saw. juga menanamkan keimanan ini sejak pertama kali mereka diutus kepada umatnya. Keimanan yang dikandung oleh Al-Qur’an meliputi keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, hari akhirat serta qaḍa' dan qadar. Pada waktu Al-Qur’an diturunkan, keimanan yang dibawa oleh para rasul sebelumnya sudah kabur, tauhid yang murni tidak ada lagi. Kepada umat-umat terdahulu telah diutus para rasul, dan mereka telah mempunyai kitab-kitab samawi. Mereka kemudian memandang para rasul, orang-orang saleh, dan malaikat-malaikat sebagai Tuhan. Kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para nabi dan rasul kepada mereka sudah diubah oleh tangan mereka sendiri. Bangsa Arab, baik yang telah pernah menganut ajaran-ajaran Nabi Ibrahim, maupun tidak, sebagian besar telah menjadi penganut kepercayaan waṡani, penyembah patung dan dewa-dewa, sehingga menurut riwayat, di sekitar Ka‘bah terdapat 360 buah patung. Maka, datanglah Al-Qur’an untuk menyucikan akidah manusia dari berbagai kotoran syirik, dengan membawa akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh berbagai kepercayaan dan perbuatan menuhankan sesuatu dalam alam ini. Akidah tauhid yang dibawa oleh Al-Qur’an itu adalah akidah yang amat jelas dan tegas, dapat dipahami akal, dan yang paling sempurna. Tuhan Yang Maha Esa, Dialah yang Khalik, sedang selain Dia adalah makhluk. Tak ada permulaan-Nya, dan tak ada kesudahan-Nya. Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia. Alam semesta ini makhluk Allah, yang akan lenyap dan binasa dengan kehendak Allah, karena keberadaannya juga dengan kehendak Allah. Di dalam surah al-Fātiḥah, akidah tauhid ini terdapat dalam ayat-ayat: a. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢ “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam” Maksud ayat “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,” adalah bahwa yang berhak dipuji hanyalah Allah, maka pujian haruslah dihadapkan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan “semua puji” meliputi: (1) puji Tuhan kepada diri-Nya; (2) puji Allah kepada makhluk-Nya; (3) puji makhluk kepada makhluk; dan (4) puji makhluk kepada Tuhannya. Pada hakikatnya, segala puji itu milik Allah. Seseorang dipuji karena sifat-sifat yang mulia yang ada pada dirinya, atau karena perbuatan, jasa dan budi baiknya. Pujian itu hanya semata-mata milik Allah, karena Dialah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang menyebabkan Dia berhak dipuji, umpama: sifat Maha Esa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuasa, Mahaadil, Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Pemaaf dan lain sebagainya. Pernyataan seorang hamba bahwa hanya Allah sajalah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan bahwa Dia sajalah yang telah memberi nikmat dan karunia, merupakan inti dari keimanan kepada Allah dan merupakan akidah tauhid yang sebenarnya. Keimanan kepada Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, dan akidah tauhid yang murni adalah ajaran Islam yang terpenting. Sebab itu di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah Rabb bagi seluruh alam. Kata Rabb itu selain bermakna “Pemilik” juga berarti “Pendidik” atau “Pengasuh”. Dengan ini jelas bahwa apa pun yang berada dalam alam ini adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan, mendidik, mengasuh, menumbuhkan dan memeliharanya. Tidak ada yang bersekutu dengan Dia. Sejalan dengan ini, maka makhluk itu bagaimanapun kecil dan halusnya dan jauh tempatnya tetap berada di bawah pengetahuan, lindungan dan pemeliharaan Allah. Allah telah memberikan kepada makhluk-Nya suatu bentuk, lalu dikaruniakan-Nya akal, naluri dan kodrat alamiah yang dapat dipergunakan untuk kelanjutan hidupnya. Sesudah itu berbagai nikmat tersebut tidak dilepaskan begitu saja oleh Allah, melainkan selalu dipelihara, dilindungi dan dijaga-Nya. Pendidikan, pemeliharaan, penumbuhan oleh Allah terhadap makhluk-Nya haruslah diperhatikan dan dipelajari oleh manusia dengan sedalam-dalamnya, dan memang sejak dahulu sampai sekarang telah diperhatikan dan dipelajari oleh para pemikir dan para sarjana, sehingga telah menjadi sumber berbagai macam ilmu pengetahuan, yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kebesaran Allah, serta berguna bagi masyarakat. b. الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ ٣ (الفاتحة) “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Ayat ini berisi keimanan, karena dalam ayat ini dinyatakan dengan lebih jelas akidah tauhid. Ayat ini menerangkan bahwa hanya Allah sajalah yang berhak disembah dan hanya kepada Allah sajalah manusia seharusnya memohon pertolongan. Jadi, manusia sebagai makhluk Allah, haruslah berhubungan langsung dengan Allah sebagai Khaliknya. Ketika manusia berdoa memohon sesuatu haruslah langsung ditujukan kepada Allah, Khaliknya tanpa perantaraan siapa dan apa pun juga. Dengan demikian, terbasmilah sampai ke akar-akarnya kepercayaan syirik (mempersekutukan Allah, membesarkan apa pun selain Allah) kepercayaan waṡani, pagan (menyembah dewa-dewa, matahari, bulan, bintang-bintang, dan lain-lain), kepercayaan majusi (menyembah api) dan sebagainya, yaitu kepercayaan yang banyak berkembang dan dianut oleh segala bangsa, sebelum datang agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kedua ayat yang disebutkan itu: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ adalah inti keimanan dan tauhid. Ayat-ayat lain, yang menyeru kepada tauhid dan memberantas kepercayaan syirik waṡani, majusi, dan sebagainya, adalah penjelasan dari kedua ayat itu. Pada dasarnya, semua ayat isi surah al-Fātiḥah itu sejak dari بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ sampai dengan صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ menerangkan akidah tauhid. Ibadah Ibadah adalah buah dari keimanan kepada adanya Allah, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Orang yang meyakini adanya segala sifat kesempurnaan-Nya akan menyembah Allah. Ajaran ibadah ini dipaparkan di dalam surah al-Fātiḥah dengan firman-Nya: اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Di dalam ayat ini Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah hanya kepada Allah semata. Maka ayat ini selain mengandung ajaran tentang tauhid, juga mengandung ajaran ibadah kepada Yang Maha Esa itu. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus. Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, Allah mengada-kan peraturan-peraturan, hukum-hukum, menjelaskan kepercayaan, memberi pelajaran dan contoh-contoh. Ini semua adalah laksana jalan lurus yang diben-tangkan Allah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Maka berbahagialah mereka yang menjalaninya dan sengsaralah orang yang menghindari diri dari jalan itu. Mengikuti jalan yang lurus ini artinya ialah beribadah kepada Allah, dengan mematuhi peraturan-peraturan, menjalankan hukum-hukum, dan berpegang ke-pada akidah yang benar, mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh yang telah diberikan Allah. Hal itu diterangkan dalam ayat-ayat lain, yang menjadi uraian dari surah al-Fātiḥah ini. Ibadah tidak dapat dipisahkan dari tauhid, sebagaimana tauhid pun tidak dapat dipisahkan dari ibadah, karena ibadah adalah buah dari tauhid, dan ia tak mempunyai nilai dan harga kalau timbulnya tidak dari perasaan tauhid. Demikian pula halnya dengan tauhid, yakni tauhid itu tidak akan subur hidup-nya di dalam jiwa dan raga manusia, kalau tidak selalu dipupuk dengan ibadah. Sebab itu, di dalam surah al-Fātiḥah ini, di samping disebut tauhid, disebut juga ibadah. Kedua-duanya secara ringkas akan diikuti dengan penjelasan-penje-lasan pada ayat-ayat lain di dalam surah-surah yang lain. Hukum-Hukum Dalam rangka beribadah kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, Allah menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan; ada yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan masyarakat dan alam seisinya. Di dalam Al-Qur’an banyak didapati ayat yang berhubungan dengan hukum dan peraturan itu. Semua ayat ini adalah penjelasan dari apa yang telah dican-tumkan dalam surah al-Fātiḥah. Allah memberi tuntunan hukum dan peraturan dalam firman-Nya: اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus Jalan yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, yaitu akidah (kepercayaan) yang benar, hukum dan peraturan, pelajaran yang dibawa oleh Al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas. Janji dan Ancaman Al-Qur’an juga berisi janji dan ancaman. Dia menjanjikan kebahagiaan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik. Sebaliknya Dia memperingatkan mereka yang mempersekutukan-Nya, yang membuat onar dan kejahatan dengan azab. Janji dan ancaman itu ditujukan kepada umum, kaum atau bangsa. Di dalam surah al-Fātiḥah terdapat ayat-ayat yang mengandung janji dan ancaman, yaitu: a. بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” Dengan menyebut “Maha Pengasih”, “Maha Penyayang”, Allah menjanjikan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, limpahan karunia dan nikmat. b. مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ “Pemilik hari pembalasan“ Pada hari itu perbuatan manusia sewaktu di dunia akan dibalas. Surga untuk mereka yang beriman dan berbuat baik, dan neraka bagi mereka yang ingkar dan berbuat salah. Ini adalah janji dan peringatan. c. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ “Tunjukilah kami jalan yang lurus” Orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus akan berbahagia, dan yang menghindarkan diri dari jalan yang lurus akan celaka. Dengan ini dapat dipahami adanya janji dan ancaman. d. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Ada orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu rasul-rasul, nabi-nabi, orang-orang saleh dan ṣiddīqīn. Orang-orang yang semacam ini akan diberi pahala dan ganjaran oleh Allah, yaitu surga jannatun-na‘īm, dan ini adalah janji-Nya. Di samping itu, ada pula orang-orang yang dimurkai Allah, yaitu mereka yang tak mau menjalani jalan yang lurus, padahal dia tahu bahwa itulah jalan yang benar, dan ada pula orang yang sesat, yaitu orang yang tak mengetahui jalan yang lurus itu atau dia mengetahuinya, tetapi dia tersesat dalam menempuh jalan itu. Mereka yang dimurkai Allah dan orang yang sesat itu akan menderita hukuman dari Allah, dan ini adalah suatu peringatan. Kisah-Kisah Untuk menjadi contoh dan teladan, pelajaran dan iktibar, Al-Qur’an telah menceritakan keadaan bangsa-bangsa dan kaum-kaum yang telah lalu dan bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi kepada mereka dan telah membuat peraturan, hukum dan syariat untuk kebahagiaan hidup mereka. Di antara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak, dan Allah menerangkan apa akibat dari penerimaan atau penolakan itu, untuk dijadikan iktibar dan pelajaran. Lebih kurang tiga perempat dari isi Al-Qur’an adalah cerita tentang bangsa-bangsa dan umat yang lalu, serta anjuran dari Allah untuk mengambil iktibar dan pelajaran dari keadaan mereka. Di dalam surah al-Fātiḥah ini keadaan bangsa-bangsa dan umat-umat yang telah lalu itu dipaparkan oleh Allah dalam firman-Nya: صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Dengan keterangan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa surah al-Fātiḥah mengandung kesimpulan isi Al-Qur’an dalam surah-surah yang berikutnya.
null
null
null
null
1. Rabb رَبّ (al-Fātiḥah/1: 2) Kata rabb secara etimologi berarti, “pemelihara”, “pendidik”, “pengasuh”, “pengatur”, dan “yang menumbuhkan”. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan, karena Tuhanlah yang secara hakiki sebagai pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluknya. Oleh sebab itu, kata rabb biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “Tuhan”. Kata rabb di dalam Al-Qur’an disebut 151 kali. 2. Ar-Raḥmān, ar-Raḥīm اَلرَّحْمٰن اَلرَّحِيْم (al-Fātiḥah/1: 3) Kata ar-raḥmān terambil dari ar-raḥmah yang berarti belas kasihan, yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi nikmat dan karunia. Jadi, kata ar-raḥmān berarti “Yang berbuat (memberi) nikmat dan karunia yang banyak”. Kata ar-raḥmān disebutkan dalam Al-Qur’an 57 kali di berbagai surah, termasuk pada Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata ar-raḥmān terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, ar-Ra‘ad, al-Isrā’, Maryam, Ṭāhā, al-Anbiyā’, al-Furqān, asy-Syu‘arā’, an-Naml, Yāsīn, Fuṣṣilat, az-Zukhruf, Qāf, ar-Raḥmān, al-Ḥasyr, al-Mulk, dan an-Naba’. Kata ar-raḥīm juga diambil dari kata ar-raḥmah. Arti ar-raḥīm ialah: “Yang mempunyai sifat belas kasihan dan sifat itu tetap padanya selama-lamanya”. Kata ar-raḥīm disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 95 kali termasuk dalam Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata Ar-raḥīm tersebut terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, Āli ‘Imrān, an-Nisā’, al-Mā’idah, al-An‘ām, al-A‘rāf, al-Anfāl, at-Taubah, Yūnus, Hūd, Yūsuf, Ibrāhīm, al-Ḥijr, an-Naḥl, al-Ḥajj, an-Nūr, asy-Syu‘arā’, an-Naml, al-Qaṣaṣ, ar-Rūm, as-Sajdah, Saba’, Yāsīn, az-Zumar, Fuṣṣilat, asy-Syūrā, ad-Dukhān, al-Aḥqāf, al-Ḥujurāt, aṭ-Ṭūr, al-Ḥadīd, al-Mujādilah, al-Ḥasyr, al-Mumtaḥanah, at-Tagābun, at-Taḥrīm, dan al-Muzzammil. Ar-raḥmān dan ar-raḥīm maksudnya bahwa Tuhan telah memberi nikmat yang banyak dengan murah dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia bersifat belas kasihan kepada makhluk-Nya. Karena sifat belas kasihan itu merupakan sifat yang tetap pada-Nya, maka nikmat dan karunia Allah tidak ada putus-putusnya.
null
null
6
1
الفاتحة
Al-Fātiḥah
Al-Fatihah
Pembuka
7
1
Makkiyah
6
1
0
1
1
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ
Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm(a).
Bimbinglah kami ke jalan yang lurus,3)
3
3) Jalan yang lurus adalah jalan hidup yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis.
Kami memohon, tunjukilah kami jalan yang lurus, dan teguhkanlah kami di jalan itu, yaitu jalan hidup yang benar, yang dapat membuat kami bahagia di dunia dan di akhirat, serta dapat mengantarkan kami menuju keridaan-Mu.
Ihdi: pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah. Arti “hidayah” ialah menunjukkan suatu jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya, dengan baik. Macam-macam Hidayah (Petunjuk) Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah, seperti yang juga dibahas dalam Tafsīr Al-Fātiḥah oleh Muhammad Abduh. 1. Hidayah Naluri (Garīzah) Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukan dari pelajaran, bukan pula dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat ini namanya “naluri”, dalam bahasa Arab disebut garīzah. Umpamanya, naluri “ingin memelihara diri” (mempertahankan hidup). Seorang bayi bila merasa lapar dia menangis. Sesudah terasa di bibirnya puting susu ibunya, dihisapnya sampai hilang laparnya. Perbuatan ini dikerjakannya tanpa seorang pun yang mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanya semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya, untuk mempertahankan hidupnya. Contoh lain adalah lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya, semut membuat lubangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang itu untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya, dengan dorongan nalurinya semata-mata. Banyak lagi naluri yang lain, umpamanya rasa “ingin tahu”, “ingin mempunyai”, “ingin berlomba-lomba”, “ingin bermain”, “ingin meniru”, “takut”, dan lain-lain. Sifat-sifat Naluri Naluri (garīzah), sebagaimana disebutkan, terdapat pada manusia dan binatang. Perbedaannya ialah naluri manusia bisa menerima pendidikan dan perbaikan, tetapi naluri binatang tidak. Sebab itulah manusia bisa maju, sedangkan binatang tidak, ia tetap seperti sediakala. Naluri-naluri itu adalah dasar bagi kebaikan, dan juga dasar bagi kejahatan. Umpamanya, naluri “ingin memelihara diri”, orang berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari nafkah secara halal. Sebaliknya karena naluri “ingin memelihara diri” itu pula orang mencuri, menipu, merampok dan lain-lain. Karena naluri “ingin tahu” orang belajar, sehingga memiliki pengetahuan yang banyak dan pendidikan yang tinggi. Sebaliknya karena naluri “ingin tahu” itu pula orang suka mencari-cari ‘aib dan rahasia’ sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan dan persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan naluri-naluri yang lain. Naluri-naluri itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada faedahnya membunuhnya. Ada pemikir dan pendidik yang hendak memadamkan naluri, karena melihat segi yang tidak baik (jahat) itu. Sebab itu mereka membuat bermacam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak agar naluri itu jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi perbuatan mereka itu besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan akhlak anak-anak. Bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh naluri itu, namun ia tidak akan mati. Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan terhadap suatu naluri, maka kelihatan ia telah padam, tetapi manakala ada yang membangkitkannya, ia timbul kembali. Oleh karena itu, sekalipun naluri itu dasar bagi kebaikan, sebagaimana ia juga dasar bagi kejahatan, kewajiban manusia bukanlah menghilangkannya, tetapi mendidik dan melatihnya, agar dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke arah yang baik. Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam naluri untuk jadi hidayah (petunjuk) yang akan dipakainya secara bijaksana. 2. Hidayah Pancaindra Karena naluri itu sifatnya belum pasti sebagaimana disebutkan di atas, maka ia belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sebab itu, manusia dilengkapi lagi oleh Allah swt dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar perannya terhadap pertumbuhan akal dan pikiran manusia. Sehubungan dengan itu ahli-ahli pendidikan berkata: اَلْحَوَاسُّ أَبْوَابُ الْمَعْرِفَةِ (Pancaindra adalah pintu-pintu pengetahuan). Maksudnya ialah: dengan perantaraan pancaindra itulah manusia dapat berhubungan dengan alam sekitar, dengan arti bahwa sampainya sesuatu dari alam sekitar ini ke dalam otak manusia adalah melalui pintu-pintu pancaindra. Tetapi naluri ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari alam maḥsūsat (yang dapat ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma‘qūlat (yang hanya dapat ditangkap oleh akal). Indra penglihatan (mata) hanya dapat menangkap alam maḥsūsat, tangkapannya tentang yang mahḥsūsat itu pun tidak selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa “ilusi optik” (tipuan pandangan), dalam bahasa Arab disebut khidā‘ an-naẓar. Sebab itu manusia masih membutuhkan hidayah yang lain. Maka Allah menganugerahkan hidayah yang ketiga, yaitu “hidayah akal”. 3. Hidayah Akal (pikiran) a. Akal dan kadar kesanggupannya Dengan adanya akal manusia dapat menyalurkan naluri ke arah yang baik, agar naluri itu menjadi sumber bagi kebaikan, dan manusia dapat membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan yang buruk dengan yang baik. Akal bahkan sanggup menyusun mukadimah untuk menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang maḥsūsat sebagai tangga kepada yang ma‘qūlat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan untuk sampai kepada yang abstrak, maknawi, dan gaib, mengambil dalil dari adanya makhluk untuk menetapkan adanya khalik, dan begitulah seterusnya. Tetapi akal manusia juga belum memadai untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat di samping berbagai macam naluri dan pancaindra itu. Apalagi pendapat akal itu bermacam-macam, yang baik menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B, malah banyak manusia yang mempergunakan akalnya, tetapi akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu dan sentimennya, hingga yang buruk itu menjadi baik dalam pandangannya, dan yang baik itu menjadi buruk. Dengan demikian nyatalah bahwa naluri ditambah dengan pancaindra, dan ditambah pula dengan akal belum cukup untuk menjadi hidayah yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hidayah lain, di samping pancaindra dan akalnya, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimuṣ-ṣalātu was-salām. b. Benih agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia Jika menilik kepada agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (al-adyān al-waḍ‘iyyah) terlihat bahwa pada jiwa manusia telah ada bibit-bibit kecenderungan beragama. Hal itu karena manusia mempunyai sifat merasa berutang budi, suka berterima kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka, ketika ia memperhatikan dirinya dan alam di sekililingnya, umpamanya roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, dia akan merasa berutang budi kepada “suatu Zat” yang gaib yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya. Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena merasa berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dia berpikir bagaimana cara berterima kasih dan membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara “menyembah Zat Yang Gaib itu”. Perihal bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib, adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab itu, di dalam sejarah terlihat tidak pernah ada keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal pikiran manusia akan membawanya kepada kepercayaan mengagungkan alam di samping mengagungkan Zat Yang Gaib itu. Karena pikirannya masih bersahaja dan belum tergambarkan di otaknya bagaimana menyembah “Zat Yang Gaib”, maka dipilihlah di antara alam ini sesuatu yang besar, yang indah, yang banyak manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi lambang bagi Zat Yang Gaib itu. Ketika dia mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang, sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka disembahnya benda-benda itu, sebagai lambang menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu, dan diciptakannya cara-cara beribadah (menyembah) benda-benda itu. Dengan cara itu timbul suatu macam kepercayaan, yang dinamakan dengan “kepercayaan menyembah kekuatan alam”, seperti yang terdapat di Mesir, Kaldea, Babilonia, Asiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala. Dengan keterangan ini: tampak bahwa manusia menurut fitrahnya cenderung beragama, acap memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke manakah kembalinya. Bila manusia mau memikirkan: “Dari mana datangnya alam ini”, akan sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampai kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan (tauhid), karena akidah (keyakinan) tentang keesaan Tuhan ini lebih mudah, dan lebih cepat dipahami oleh akal manusia. Karena itu dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah beragama tauhid. Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaldea pada mulanya adalah beragama tauhid, kemudian mereka menyembah matahari, planet-planet dan bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan patung-patung. Sesudah raja Namruż meninggal, mereka pun mendewakan dan menyembah Namruż itu. Bangsa Asiria pun pada mulanya beragama tauhid, kemudian mereka lupa kepada akidah tauhid itu dan mereka sekutukan Tuhan dengan binatang-binatang, dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang Babilonia. Adapun bangsa Mesir, bila diperhatikan nyanyian-nyanyian yang mereka nyanyikan dalam upacara-upacara peribadatan, jelas bahwa tidak semua orang Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan waṡani (penyembah berhala), melainkan di antara mereka ada juga muwaḥḥidīn, penganut akidah tauhid. Di dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan sebagai berikut: “Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya” “Dia mencintai seluruh makhluk, sedang Dia sendiri tak ada yang menciptakan-Nya” “Dialah Tuhan Yang Mahaagung, Pemilik langit dan bumi, Pencipta seluruh makhluk” Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, dan tetap ada. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta seluruh yang ada di alam ini. Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain itu mereka anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau simbol bagi Yang Maha Esa. c. Pendapat Orang-orang Arab sebelum Islam tentang Khalik (Pencipta) Orang-orang Arab sebelum datang agama Islam, kalau ditanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi ini?” Mereka menjawab, “Allah.” Kalau ditanyakan, “Adakah al-Lata dan al-Uzza itu menjadikan sesuatu yang ada pada alam ini?” Mereka menjawab, “Tidak!” Mereka sembah dewa-dewa itu hanya untuk mengharapkan perantaraan dan syafaat dari mereka terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah berfirman tentang perkataan musyrikin Arab itu: مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰى “Kami tidak menyembah mereka, melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah, dengan sedekat-dekatnya.” (az-Zumar/39: 3) d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai oleh akal Manakala manusia memikirkan “kemanakah kembalinya alam ini?” akan sampailah dia pada keyakinan bahwa di balik hidup di dunia yang fana ini akan ada lagi hidup di hari kemudian yang kekal dan abadi. Tetapi dapatkah manusia dengan akal dan pikirannya semata-mata mengetahui apakah yang perlu dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan di hari kemudian (hari akhirat) itu? Jawabnya, “Tentu saja tidak, sejarah pun telah membuktikan hal ini.” Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa manusia telah diberi akal oleh Allah untuk jadi hidayah baginya, di samping naluri dan pancaindra. Tetapi hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dengan akalnya dia kadang-kadang telah sampai kepada tauhid. Tetapi tauhid yang telah dicapainya dengan akalnya itu sering pula menjadi kabur dan tidak murni lagi. Dengan mempergunakan akalnya, manusia juga dapat sampai kepada kesimpulan tentang adanya akhirat, tetapi hidayah akal itu belum mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Maka untuk menyampai-kan manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh kepercayaan-kepercayaan menyembah dan membesarkan selain Allah, untuk membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya dalam perjalanan mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dan untuk jadi pedoman dalam hidupnya di dunia ini, dia membutuhkan hidayah yang lain di samping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka Allah mendatangkan hidayah yang keempat yaitu “agama” yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimuṣ-ṣalātu was-salām. 4. Hidayah Agama a. Pokok-pokok agama ketuhanan Allah mengutus rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan kepada manusia jalan yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Mula-mula yang ditanamkan oleh rasul-rasul itu adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna membersihkan itikad manusia dari syirik (mempersekutukan Allah). Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid dengan melalui akal dan logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. Dialog antara Nabi Ibrahim dengan Namruż, Nabi Musa dengan Fir‘aun, dan seruan-seruan Al-Qur’an kepada kaum musyrikin Quraisy semuanya mengajak agar mereka mempergunakan akal. Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, rasul-rasul juga menyeru untuk percaya pada akhirat, dan para malaikat. Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari kemudian dinamakan al-īmān bi al-gaib (percaya kepada yang gaib). Itulah yang menjadi pokok bagi semua agama samawi, dengan arti bahwa semua agama yang datangnya dari Tuhan adalah mempercayai keesaan Tuhan, para malaikat dan hari akhirat. Di samping Akidah (kepercayaan) yang disebutkan itu, para rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran. Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini tidak seluruhnya sama, artinya apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa, tidak serupa dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Hal ini dikarenakan hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa. Maka syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai dengan masanya masing-masing. Jadi yang berlainan itu ialah hukum-hukum furu‘ (cabang-cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah sama. Karena Muhammad saw adalah Nabi penutup maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Allah sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan segala masa dan keadaan. b. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan Allah telah menganugerahkan agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup yang penghabisan, atau jalan kepada kebahagiaan yang terakhir, tetapi adakah semua orang, pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang telah dibentangkan oleh Tuhan? Banyak manusia salah menerapkan agama, tidak beribadah (menyembah Allah) sesuai dengan yang diridai oleh yang disembah, tidak melaksanakan syariat sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syariat itu. Karena itu Allah mengajarkan kepada manusia cara memohon kepada-Nya agar diberi-Nya ma‘ūnah, dibimbing dan dijaga selama-lamanya, serta diberi-Nya taufik agar dapat memanfaatkan semua macam hidayah yang telah dianugerahkan itu menurut semestinya. Naluri-naluri agar dapat disalurkan ke arah yang baik, pancaindra agar betul, akal agar sesuai dengan yang benar, tuntunan-tuntunan agama agar dapat dilaksanakan menurut yang dimaksudkan oleh yang menurunkan agama itu, tanpa ada cacat, janggal dan salah. Tegasnya, manusia yang telah diberi Allah bermacam-macam hidayah yang disebutkan di atas (naluri, pancaindra, akal dan agama) belumlah cukup, tetapi dia masih membutuhkan ma‘ūnah dan bimbingan dari Allah (yaitu taufik-Nya)[1] Maka ma‘ūnah dan bimbingan itulah yang kita mohonkan, dan kepada Allah sajalah kita hadapkan permohonan itu. Dengan perkataan lain, Allah telah memberi manusia hidayah-hidayah tersebut, seakan-akan Dia telah membentangkan jalan raya yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Kemudian yang dimohonkan kepada-Nya lagi, ialah “agar membimbing kita dalam melalui jalan yang telah terbentang itu.” Dengan ringkas hidayah dalam ayat ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm ini berarti “taufik” (bimbingan), dan taufik itulah yang dimohonkan di sini kepada Allah. Taufik ini dimohonkan kepada Allah sesudah kita berusaha dengan sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar, karena berusaha dengan sepenuh tenaga adalah kewajiban kita, tetapi keberhasilan suatu usaha adalah termasuk kekuasaan Allah. Dengan ini terlihat pertalian ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Pada ayat yang sebelumnya Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah dan memohon pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini Allah menerangkan apa yang akan dimohonkan, dan bagaimana memohonkannya. Maka tidak ada pertentangan antara kedua firman Allah tersebut dan firman Allah yang ditujukan kepada Nabi: وَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ … Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. (asy-Syūrā/42: 52). اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ٥٦ (القصص) Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (al-Qaṣaṣ/28: 56). Sebab yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama ialah menunjukkan jalan yang harus ditempuh, dan ini memang tugas nabi. Yang dimaksud dengan hidayah pada ayat kedua ialah membimbing manusia dalam menempuh jalan itu dan memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam perjalanannya, dan ini tidaklah masuk dalam kekuasaan nabi, tetapi hak Allah semata-mata. الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada yang dituju). Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu? Di atas telah diterangkan bahwa rasul-rasul telah membawa aqā’id (kepercayaan-kepercayaan), hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak, dan pelajaran-pelajaran. Pendeknya, para rasul telah membawa segala sesuatu yang perlu untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Maka aqā’id, hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran itulah yang dimaksud dengan jalan lurus itu, karena dialah yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagaimana disebutkan. Jadi dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita memohon kepada Allah, “Bimbing dan berilah kami taufik, ya Allah dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami. Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan kepercayaan kami. Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan hukum, peraturan-peraturan, serta pelajaran-pelajaran agama kami. Jadikanlah kami mempunyai akhlak yang mulia, agar berbahagia hidup kami di dunia dan akhirat.”
Nama, Tempat Diturunkan, dan Jumlah Ayat Surah pertama al-Fātiḥah mempunyai bermacam-macam nama, antara lain: 1. Surah al-Fātiḥah Kata “Fātiḥah” terambil dari kata kerja fataḥa yang berarti “membuka” atau “memulai”. Sedangkan “al-” adalah kata sandang, artikel definitif, itu, penunjuk suatu kata benda. Al-Fātiḥah di sini berarti “Pembuka” atau “Pemula”. Surah ini dinamakan “al-Fātiḥah” karena dengan surah inilah dibuka Al-Qur’an, artinya dengan surah inilah dimulai susunan surah-surah Al-Qur’an. Peletakannya di permulaan Al-Qur’an berdasarkan tauqīfi, artinya perintah dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. 2. Ummul-Qur’ān atau Ummul-Kitāb Di samping nama “al-Fātiḥah“, surah ini juga dinamakan Ummul-Qur’ān (Induk Al-Qur’an) atau Ummul-Kitāb (Induk Al-Kitab), karena merupakan induk, pokok, atau basis bagi Al-Qur’an seluruhnya, dengan arti bahwa surah al-Fātiḥah mengandung pokok-pokok isi Al-Qur’an 3. As-Sab‘ul Maṡānī Surah al-Fātiḥah juga dinamai as-Sab‘ul-Maṡānī (tujuh yang berulang-ulang). Dinamai demikian karena ayatnya berjumlah tujuh, dan dibaca berulang-ulang dalam salat. Salat tidak sah tanpa membaca surah al-Fātiḥah, berdasarkan Hadis: لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. (رواه اصحاب الستة عن عبادة بن الصامت) Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca al-Fātiḥah. (Riwayat Aṣḥābus-Sittah dari ‘Ubadah bin aṣ-Ṣāmit) Selain beberapa nama yang disebutkan, masih ada nama-nama lain, yaitu al-Kanz (Perbendaharaan), al-Ḥamd (Pujian), aṣ-Ṣalāh (Salat), al-Wāqiyah (Yang Me-lindungi), Asāsul-Qur'ān (Pokok-pokok Al-Qur’an), asy-Syāfiyah (Penyembuhan), al-Kāfiyah (Yang Mencukupi), ar-Ruqyah (Bacaan untuk Pengobatan), asy-Syukur (Syukur) ad-Du’ā (Doa) dan al-Asās (Asas Segala Sesuatu). Surah al-Fātiḥah diturunkan di Mekah, jadi termasuk surah Makkiyyah. Surah ini diturunkan pada waktu pertama kali disyariatkan salat dan diwajibkan membacanya di dalam salat, karena itu, ia adalah surah yang pertama diturunkan dengan lengkap. Dalam surah ini terdapat kesimpulan dari isi keseluruhan Al-Qur’an. Pokok-Pokok Isinya Telah disebutkan di atas, bahwa surah al-Fātiḥah adalah induk dari Al-Qur’an seluruhnya, sehingga ia merupakan intisari dari isi Al-Qur’an, yaitu: 1. Akidah 2. Ibadah 3. Hukum-hukum 4. Janji dan ancaman 5. Kisah-kisah. Akidah Akidah adalah yang pertama kali dibawa oleh Al-Qur’an dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Para nabi dan rasul yang telah diutus sebelum Muhammad saw. juga menanamkan keimanan ini sejak pertama kali mereka diutus kepada umatnya. Keimanan yang dikandung oleh Al-Qur’an meliputi keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, hari akhirat serta qaḍa' dan qadar. Pada waktu Al-Qur’an diturunkan, keimanan yang dibawa oleh para rasul sebelumnya sudah kabur, tauhid yang murni tidak ada lagi. Kepada umat-umat terdahulu telah diutus para rasul, dan mereka telah mempunyai kitab-kitab samawi. Mereka kemudian memandang para rasul, orang-orang saleh, dan malaikat-malaikat sebagai Tuhan. Kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para nabi dan rasul kepada mereka sudah diubah oleh tangan mereka sendiri. Bangsa Arab, baik yang telah pernah menganut ajaran-ajaran Nabi Ibrahim, maupun tidak, sebagian besar telah menjadi penganut kepercayaan waṡani, penyembah patung dan dewa-dewa, sehingga menurut riwayat, di sekitar Ka‘bah terdapat 360 buah patung. Maka, datanglah Al-Qur’an untuk menyucikan akidah manusia dari berbagai kotoran syirik, dengan membawa akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh berbagai kepercayaan dan perbuatan menuhankan sesuatu dalam alam ini. Akidah tauhid yang dibawa oleh Al-Qur’an itu adalah akidah yang amat jelas dan tegas, dapat dipahami akal, dan yang paling sempurna. Tuhan Yang Maha Esa, Dialah yang Khalik, sedang selain Dia adalah makhluk. Tak ada permulaan-Nya, dan tak ada kesudahan-Nya. Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia. Alam semesta ini makhluk Allah, yang akan lenyap dan binasa dengan kehendak Allah, karena keberadaannya juga dengan kehendak Allah. Di dalam surah al-Fātiḥah, akidah tauhid ini terdapat dalam ayat-ayat: a. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢ “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam” Maksud ayat “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,” adalah bahwa yang berhak dipuji hanyalah Allah, maka pujian haruslah dihadapkan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan “semua puji” meliputi: (1) puji Tuhan kepada diri-Nya; (2) puji Allah kepada makhluk-Nya; (3) puji makhluk kepada makhluk; dan (4) puji makhluk kepada Tuhannya. Pada hakikatnya, segala puji itu milik Allah. Seseorang dipuji karena sifat-sifat yang mulia yang ada pada dirinya, atau karena perbuatan, jasa dan budi baiknya. Pujian itu hanya semata-mata milik Allah, karena Dialah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang menyebabkan Dia berhak dipuji, umpama: sifat Maha Esa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuasa, Mahaadil, Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Pemaaf dan lain sebagainya. Pernyataan seorang hamba bahwa hanya Allah sajalah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan bahwa Dia sajalah yang telah memberi nikmat dan karunia, merupakan inti dari keimanan kepada Allah dan merupakan akidah tauhid yang sebenarnya. Keimanan kepada Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, dan akidah tauhid yang murni adalah ajaran Islam yang terpenting. Sebab itu di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah Rabb bagi seluruh alam. Kata Rabb itu selain bermakna “Pemilik” juga berarti “Pendidik” atau “Pengasuh”. Dengan ini jelas bahwa apa pun yang berada dalam alam ini adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan, mendidik, mengasuh, menumbuhkan dan memeliharanya. Tidak ada yang bersekutu dengan Dia. Sejalan dengan ini, maka makhluk itu bagaimanapun kecil dan halusnya dan jauh tempatnya tetap berada di bawah pengetahuan, lindungan dan pemeliharaan Allah. Allah telah memberikan kepada makhluk-Nya suatu bentuk, lalu dikaruniakan-Nya akal, naluri dan kodrat alamiah yang dapat dipergunakan untuk kelanjutan hidupnya. Sesudah itu berbagai nikmat tersebut tidak dilepaskan begitu saja oleh Allah, melainkan selalu dipelihara, dilindungi dan dijaga-Nya. Pendidikan, pemeliharaan, penumbuhan oleh Allah terhadap makhluk-Nya haruslah diperhatikan dan dipelajari oleh manusia dengan sedalam-dalamnya, dan memang sejak dahulu sampai sekarang telah diperhatikan dan dipelajari oleh para pemikir dan para sarjana, sehingga telah menjadi sumber berbagai macam ilmu pengetahuan, yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kebesaran Allah, serta berguna bagi masyarakat. b. الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ ٣ (الفاتحة) “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Ayat ini berisi keimanan, karena dalam ayat ini dinyatakan dengan lebih jelas akidah tauhid. Ayat ini menerangkan bahwa hanya Allah sajalah yang berhak disembah dan hanya kepada Allah sajalah manusia seharusnya memohon pertolongan. Jadi, manusia sebagai makhluk Allah, haruslah berhubungan langsung dengan Allah sebagai Khaliknya. Ketika manusia berdoa memohon sesuatu haruslah langsung ditujukan kepada Allah, Khaliknya tanpa perantaraan siapa dan apa pun juga. Dengan demikian, terbasmilah sampai ke akar-akarnya kepercayaan syirik (mempersekutukan Allah, membesarkan apa pun selain Allah) kepercayaan waṡani, pagan (menyembah dewa-dewa, matahari, bulan, bintang-bintang, dan lain-lain), kepercayaan majusi (menyembah api) dan sebagainya, yaitu kepercayaan yang banyak berkembang dan dianut oleh segala bangsa, sebelum datang agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kedua ayat yang disebutkan itu: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ adalah inti keimanan dan tauhid. Ayat-ayat lain, yang menyeru kepada tauhid dan memberantas kepercayaan syirik waṡani, majusi, dan sebagainya, adalah penjelasan dari kedua ayat itu. Pada dasarnya, semua ayat isi surah al-Fātiḥah itu sejak dari بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ sampai dengan صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ menerangkan akidah tauhid. Ibadah Ibadah adalah buah dari keimanan kepada adanya Allah, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Orang yang meyakini adanya segala sifat kesempurnaan-Nya akan menyembah Allah. Ajaran ibadah ini dipaparkan di dalam surah al-Fātiḥah dengan firman-Nya: اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Di dalam ayat ini Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah hanya kepada Allah semata. Maka ayat ini selain mengandung ajaran tentang tauhid, juga mengandung ajaran ibadah kepada Yang Maha Esa itu. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus. Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, Allah mengada-kan peraturan-peraturan, hukum-hukum, menjelaskan kepercayaan, memberi pelajaran dan contoh-contoh. Ini semua adalah laksana jalan lurus yang diben-tangkan Allah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Maka berbahagialah mereka yang menjalaninya dan sengsaralah orang yang menghindari diri dari jalan itu. Mengikuti jalan yang lurus ini artinya ialah beribadah kepada Allah, dengan mematuhi peraturan-peraturan, menjalankan hukum-hukum, dan berpegang ke-pada akidah yang benar, mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh yang telah diberikan Allah. Hal itu diterangkan dalam ayat-ayat lain, yang menjadi uraian dari surah al-Fātiḥah ini. Ibadah tidak dapat dipisahkan dari tauhid, sebagaimana tauhid pun tidak dapat dipisahkan dari ibadah, karena ibadah adalah buah dari tauhid, dan ia tak mempunyai nilai dan harga kalau timbulnya tidak dari perasaan tauhid. Demikian pula halnya dengan tauhid, yakni tauhid itu tidak akan subur hidup-nya di dalam jiwa dan raga manusia, kalau tidak selalu dipupuk dengan ibadah. Sebab itu, di dalam surah al-Fātiḥah ini, di samping disebut tauhid, disebut juga ibadah. Kedua-duanya secara ringkas akan diikuti dengan penjelasan-penje-lasan pada ayat-ayat lain di dalam surah-surah yang lain. Hukum-Hukum Dalam rangka beribadah kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, Allah menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan; ada yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan masyarakat dan alam seisinya. Di dalam Al-Qur’an banyak didapati ayat yang berhubungan dengan hukum dan peraturan itu. Semua ayat ini adalah penjelasan dari apa yang telah dican-tumkan dalam surah al-Fātiḥah. Allah memberi tuntunan hukum dan peraturan dalam firman-Nya: اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus Jalan yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, yaitu akidah (kepercayaan) yang benar, hukum dan peraturan, pelajaran yang dibawa oleh Al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas. Janji dan Ancaman Al-Qur’an juga berisi janji dan ancaman. Dia menjanjikan kebahagiaan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik. Sebaliknya Dia memperingatkan mereka yang mempersekutukan-Nya, yang membuat onar dan kejahatan dengan azab. Janji dan ancaman itu ditujukan kepada umum, kaum atau bangsa. Di dalam surah al-Fātiḥah terdapat ayat-ayat yang mengandung janji dan ancaman, yaitu: a. بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” Dengan menyebut “Maha Pengasih”, “Maha Penyayang”, Allah menjanjikan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, limpahan karunia dan nikmat. b. مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ “Pemilik hari pembalasan“ Pada hari itu perbuatan manusia sewaktu di dunia akan dibalas. Surga untuk mereka yang beriman dan berbuat baik, dan neraka bagi mereka yang ingkar dan berbuat salah. Ini adalah janji dan peringatan. c. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ “Tunjukilah kami jalan yang lurus” Orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus akan berbahagia, dan yang menghindarkan diri dari jalan yang lurus akan celaka. Dengan ini dapat dipahami adanya janji dan ancaman. d. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Ada orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu rasul-rasul, nabi-nabi, orang-orang saleh dan ṣiddīqīn. Orang-orang yang semacam ini akan diberi pahala dan ganjaran oleh Allah, yaitu surga jannatun-na‘īm, dan ini adalah janji-Nya. Di samping itu, ada pula orang-orang yang dimurkai Allah, yaitu mereka yang tak mau menjalani jalan yang lurus, padahal dia tahu bahwa itulah jalan yang benar, dan ada pula orang yang sesat, yaitu orang yang tak mengetahui jalan yang lurus itu atau dia mengetahuinya, tetapi dia tersesat dalam menempuh jalan itu. Mereka yang dimurkai Allah dan orang yang sesat itu akan menderita hukuman dari Allah, dan ini adalah suatu peringatan. Kisah-Kisah Untuk menjadi contoh dan teladan, pelajaran dan iktibar, Al-Qur’an telah menceritakan keadaan bangsa-bangsa dan kaum-kaum yang telah lalu dan bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi kepada mereka dan telah membuat peraturan, hukum dan syariat untuk kebahagiaan hidup mereka. Di antara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak, dan Allah menerangkan apa akibat dari penerimaan atau penolakan itu, untuk dijadikan iktibar dan pelajaran. Lebih kurang tiga perempat dari isi Al-Qur’an adalah cerita tentang bangsa-bangsa dan umat yang lalu, serta anjuran dari Allah untuk mengambil iktibar dan pelajaran dari keadaan mereka. Di dalam surah al-Fātiḥah ini keadaan bangsa-bangsa dan umat-umat yang telah lalu itu dipaparkan oleh Allah dalam firman-Nya: صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Dengan keterangan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa surah al-Fātiḥah mengandung kesimpulan isi Al-Qur’an dalam surah-surah yang berikutnya.
null
null
null
null
1. Rabb رَبّ (al-Fātiḥah/1: 2) Kata rabb secara etimologi berarti, “pemelihara”, “pendidik”, “pengasuh”, “pengatur”, dan “yang menumbuhkan”. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan, karena Tuhanlah yang secara hakiki sebagai pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluknya. Oleh sebab itu, kata rabb biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “Tuhan”. Kata rabb di dalam Al-Qur’an disebut 151 kali. 2. Ar-Raḥmān, ar-Raḥīm اَلرَّحْمٰن اَلرَّحِيْم (al-Fātiḥah/1: 3) Kata ar-raḥmān terambil dari ar-raḥmah yang berarti belas kasihan, yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi nikmat dan karunia. Jadi, kata ar-raḥmān berarti “Yang berbuat (memberi) nikmat dan karunia yang banyak”. Kata ar-raḥmān disebutkan dalam Al-Qur’an 57 kali di berbagai surah, termasuk pada Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata ar-raḥmān terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, ar-Ra‘ad, al-Isrā’, Maryam, Ṭāhā, al-Anbiyā’, al-Furqān, asy-Syu‘arā’, an-Naml, Yāsīn, Fuṣṣilat, az-Zukhruf, Qāf, ar-Raḥmān, al-Ḥasyr, al-Mulk, dan an-Naba’. Kata ar-raḥīm juga diambil dari kata ar-raḥmah. Arti ar-raḥīm ialah: “Yang mempunyai sifat belas kasihan dan sifat itu tetap padanya selama-lamanya”. Kata ar-raḥīm disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 95 kali termasuk dalam Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata Ar-raḥīm tersebut terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, Āli ‘Imrān, an-Nisā’, al-Mā’idah, al-An‘ām, al-A‘rāf, al-Anfāl, at-Taubah, Yūnus, Hūd, Yūsuf, Ibrāhīm, al-Ḥijr, an-Naḥl, al-Ḥajj, an-Nūr, asy-Syu‘arā’, an-Naml, al-Qaṣaṣ, ar-Rūm, as-Sajdah, Saba’, Yāsīn, az-Zumar, Fuṣṣilat, asy-Syūrā, ad-Dukhān, al-Aḥqāf, al-Ḥujurāt, aṭ-Ṭūr, al-Ḥadīd, al-Mujādilah, al-Ḥasyr, al-Mumtaḥanah, at-Tagābun, at-Taḥrīm, dan al-Muzzammil. Ar-raḥmān dan ar-raḥīm maksudnya bahwa Tuhan telah memberi nikmat yang banyak dengan murah dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia bersifat belas kasihan kepada makhluk-Nya. Karena sifat belas kasihan itu merupakan sifat yang tetap pada-Nya, maka nikmat dan karunia Allah tidak ada putus-putusnya.
null
null
7
1
الفاتحة
Al-Fātiḥah
Al-Fatihah
Pembuka
7
1
Makkiyah
7
1
0
1
1
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ
Ṣirāṭal-lażīna an‘amta ‘alaihim, gairil-magḍūbi ‘alaihim wa laḍ-ḍāllīn(a).
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.
null
null
Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, berupa keimanan, hidayah, dan rida-Mu. Mereka itu, seperti dijelaskan dalam Surah an-Nisa' /4: 69, adalah: 1) para nabi yang telah dipilih Allah untuk memperoleh bimbingan sekaligus ditugasi untuk menuntun manusia menuju kebenaran Ilahi; 2) siddiqin, yaitu orang-orang yang selalu benar dan jujur, tidak ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan kebenaran; 3) syuhada', yaitu mereka yang bersaksi atas kebenaran dan kebajikan, melalui ucapan dan tindakan mereka, walau harus mengorbankan nyawa sekalipun, atau mereka yang disaksikan kebenaran dan kebajikannya oleh Allah, para malaikat, dan lingkungan mereka; dan 4) salihin, yaitu orang-orang saleh yang tangguh dalam kebajikan dan selalu berusaha mewujudkannya. Jalan yang kami mohon itu bukan jalan mereka yang dimurkai, yang mengetahui kebenaran tetapi tidak mengikuti dan mengamalkannya, bahkan menentangnya, seperti sebagian kelompok Yahudi dan yang mengikuti jalan mereka, dan bukan pula jalan mereka yang sesat dari jalan kebenaran dan kebaikan, seperti sebagian kelompok Nasrani dan yang sejalan dengan mereka, sebab mereka enggan beriman dan mengikuti petunjuk-Mu.
Setelah Allah swt mengajarkan kepada hamba-Nya untuk memohon agar selalu dibimbing-Nya menuju jalan yang lurus dan benar, pada ayat ini Allah menerangkan apa jalan yang lurus itu. Sebelum Al-Qur’an diturunkan, Allah telah menurunkan kitab-kitab suci-Nya yang lain, dan sebelum Nabi Muhammad diutus, Allah telah mengutus rasul-rasul, karena sebelum umat yang sekarang ini telah banyak umat terdahulu. Di antara umat-umat yang terdahulu itu terdapat nabi-nabi, ṣiddīqīn yang membenarkan rasul-rasul dengan jujur dan patuh, syuhadā’ yang telah mengorbankan jiwa dan harta untuk kemuliaan agama Allah, dan orang-orang saleh yang telah membuat kebajikan dan menjauhi larangan Allah. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, dan kita diajari agar memohon kepada-Nya, agar diberi-Nya taufik dan bimbingan sebagaimana Dia telah memberi taufik dan membimbing mereka. Artinya sebagaimana mereka telah berbahagia dalam aqā’id, dalam menjalankan hukum-hukum dan peraturan-peraturan agama, serta telah mempunyai akhlak dan budi pekerti yang mulia, maka demikian pula kita hendaknya. Dengan perkataan lain, Allah menyuruh kita agar mengambil contoh dan teladan kepada mereka yang terdahulu. Timbul pertanyaan: mengapa Allah menyuruh kita mengikuti jalan mereka yang terdahulu itu, padahal dalam agama kita ada pelajaran-pelajaran, hukum dan petunjuk-petunjuk yang tak ada pada mereka. Jawabnya: sebetulnya agama Allah itu adalah satu. Kendatipun ada perbedaannya, tetapi perbedaan itu pada bagian-bagiannya, sedang pokok-pokoknya serupa, sebagaimana telah disebutkan. Sebagaimana halnya dalam umat-umat yang terdahulu itu terdapat orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, juga terdapat di antara mereka orang yang dimurkai Allah dan orang yang sesat. Orang yang dimurkai Allah itu mereka yang tak mau menerima seruan Allah yang disampaikan oleh rasul-rasul, karena berlainan dengan kebiasaan mereka, atau karena tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, kendatipun telah jelas bahwa yang dibawa oleh rasul-rasul itu adalah benar. Termasuk juga ke dalam golongan ini, mereka yang mulanya telah menerima apa yang disampaikan oleh rasul-rasul, tetapi kemudian karena suatu sebab mereka membelok, dan membelakangi pelajaran yang dibawa oleh rasul-rasul itu. Di dalam sejarah banyak ditemukan orang yang dimurkai Allah, sejak di dunia mereka telah diazab Allah, sebagai balasan yang setimpal bagi keingkaran dan sifat angkara murka mereka. Umpamanya kaum ‘Ād dan Ṡamud yang telah dibinasakan oleh Allah. Sampai sekarang masih ada bekas-bekas peninggalan mereka di Jazirah (semenanjung) Arab. Begitu juga Fir‘aun dan kaumnya yang telah dibinasakan Allah di Laut Merah. Mumi Fir‘aun sampai sekarang masih tersimpan di museum di Mesir. Orang-orang yang sesat ialah mereka yang tidak betul kepercayaannya, atau tidak betul pekerjaan dan amal ibadahnya serta rusak budi pekertinya. Bila akidah seseorang tidak betul, atau pekerjaan dan amal ibadahnya salah, dan akhlaknya telah rusak, akan celakalah dia, dan kalau suatu bangsa berada pada situasi seperti itu akan jatuhlah bangsa itu. Maka dengan ayat ini Allah mengajari hamba-Nya untuk memohon kepada-Nya agar terjauh dari kemurkaan-Nya, dan terhindar dari kesesatan. Di dalamnya juga tersimpul perintah Allah agar manusia mengambil pelajaran dari sejarah bangsa-bangsa yang terdahulu. Alangkah banyaknya dalam sejarah kejadian-kejadian yang dapat dijadikan iktibar dan pelajaran. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang berkenaan dengan kisah umat dan bangsa-bangsa yang dahulu. Memang tak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya kepada jiwa manusia daripada contoh-contoh orang dan perbandingan-perbandingan yang terdapat dalam kisah-kisah dan sejarah.
Nama, Tempat Diturunkan, dan Jumlah Ayat Surah pertama al-Fātiḥah mempunyai bermacam-macam nama, antara lain: 1. Surah al-Fātiḥah Kata “Fātiḥah” terambil dari kata kerja fataḥa yang berarti “membuka” atau “memulai”. Sedangkan “al-” adalah kata sandang, artikel definitif, itu, penunjuk suatu kata benda. Al-Fātiḥah di sini berarti “Pembuka” atau “Pemula”. Surah ini dinamakan “al-Fātiḥah” karena dengan surah inilah dibuka Al-Qur’an, artinya dengan surah inilah dimulai susunan surah-surah Al-Qur’an. Peletakannya di permulaan Al-Qur’an berdasarkan tauqīfi, artinya perintah dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. 2. Ummul-Qur’ān atau Ummul-Kitāb Di samping nama “al-Fātiḥah“, surah ini juga dinamakan Ummul-Qur’ān (Induk Al-Qur’an) atau Ummul-Kitāb (Induk Al-Kitab), karena merupakan induk, pokok, atau basis bagi Al-Qur’an seluruhnya, dengan arti bahwa surah al-Fātiḥah mengandung pokok-pokok isi Al-Qur’an 3. As-Sab‘ul Maṡānī Surah al-Fātiḥah juga dinamai as-Sab‘ul-Maṡānī (tujuh yang berulang-ulang). Dinamai demikian karena ayatnya berjumlah tujuh, dan dibaca berulang-ulang dalam salat. Salat tidak sah tanpa membaca surah al-Fātiḥah, berdasarkan Hadis: لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. (رواه اصحاب الستة عن عبادة بن الصامت) Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca al-Fātiḥah. (Riwayat Aṣḥābus-Sittah dari ‘Ubadah bin aṣ-Ṣāmit) Selain beberapa nama yang disebutkan, masih ada nama-nama lain, yaitu al-Kanz (Perbendaharaan), al-Ḥamd (Pujian), aṣ-Ṣalāh (Salat), al-Wāqiyah (Yang Me-lindungi), Asāsul-Qur'ān (Pokok-pokok Al-Qur’an), asy-Syāfiyah (Penyembuhan), al-Kāfiyah (Yang Mencukupi), ar-Ruqyah (Bacaan untuk Pengobatan), asy-Syukur (Syukur) ad-Du’ā (Doa) dan al-Asās (Asas Segala Sesuatu). Surah al-Fātiḥah diturunkan di Mekah, jadi termasuk surah Makkiyyah. Surah ini diturunkan pada waktu pertama kali disyariatkan salat dan diwajibkan membacanya di dalam salat, karena itu, ia adalah surah yang pertama diturunkan dengan lengkap. Dalam surah ini terdapat kesimpulan dari isi keseluruhan Al-Qur’an. Pokok-Pokok Isinya Telah disebutkan di atas, bahwa surah al-Fātiḥah adalah induk dari Al-Qur’an seluruhnya, sehingga ia merupakan intisari dari isi Al-Qur’an, yaitu: 1. Akidah 2. Ibadah 3. Hukum-hukum 4. Janji dan ancaman 5. Kisah-kisah. Akidah Akidah adalah yang pertama kali dibawa oleh Al-Qur’an dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Para nabi dan rasul yang telah diutus sebelum Muhammad saw. juga menanamkan keimanan ini sejak pertama kali mereka diutus kepada umatnya. Keimanan yang dikandung oleh Al-Qur’an meliputi keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, hari akhirat serta qaḍa' dan qadar. Pada waktu Al-Qur’an diturunkan, keimanan yang dibawa oleh para rasul sebelumnya sudah kabur, tauhid yang murni tidak ada lagi. Kepada umat-umat terdahulu telah diutus para rasul, dan mereka telah mempunyai kitab-kitab samawi. Mereka kemudian memandang para rasul, orang-orang saleh, dan malaikat-malaikat sebagai Tuhan. Kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para nabi dan rasul kepada mereka sudah diubah oleh tangan mereka sendiri. Bangsa Arab, baik yang telah pernah menganut ajaran-ajaran Nabi Ibrahim, maupun tidak, sebagian besar telah menjadi penganut kepercayaan waṡani, penyembah patung dan dewa-dewa, sehingga menurut riwayat, di sekitar Ka‘bah terdapat 360 buah patung. Maka, datanglah Al-Qur’an untuk menyucikan akidah manusia dari berbagai kotoran syirik, dengan membawa akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh berbagai kepercayaan dan perbuatan menuhankan sesuatu dalam alam ini. Akidah tauhid yang dibawa oleh Al-Qur’an itu adalah akidah yang amat jelas dan tegas, dapat dipahami akal, dan yang paling sempurna. Tuhan Yang Maha Esa, Dialah yang Khalik, sedang selain Dia adalah makhluk. Tak ada permulaan-Nya, dan tak ada kesudahan-Nya. Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia. Alam semesta ini makhluk Allah, yang akan lenyap dan binasa dengan kehendak Allah, karena keberadaannya juga dengan kehendak Allah. Di dalam surah al-Fātiḥah, akidah tauhid ini terdapat dalam ayat-ayat: a. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢ “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam” Maksud ayat “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,” adalah bahwa yang berhak dipuji hanyalah Allah, maka pujian haruslah dihadapkan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan “semua puji” meliputi: (1) puji Tuhan kepada diri-Nya; (2) puji Allah kepada makhluk-Nya; (3) puji makhluk kepada makhluk; dan (4) puji makhluk kepada Tuhannya. Pada hakikatnya, segala puji itu milik Allah. Seseorang dipuji karena sifat-sifat yang mulia yang ada pada dirinya, atau karena perbuatan, jasa dan budi baiknya. Pujian itu hanya semata-mata milik Allah, karena Dialah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang menyebabkan Dia berhak dipuji, umpama: sifat Maha Esa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuasa, Mahaadil, Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Pemaaf dan lain sebagainya. Pernyataan seorang hamba bahwa hanya Allah sajalah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan bahwa Dia sajalah yang telah memberi nikmat dan karunia, merupakan inti dari keimanan kepada Allah dan merupakan akidah tauhid yang sebenarnya. Keimanan kepada Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, dan akidah tauhid yang murni adalah ajaran Islam yang terpenting. Sebab itu di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah Rabb bagi seluruh alam. Kata Rabb itu selain bermakna “Pemilik” juga berarti “Pendidik” atau “Pengasuh”. Dengan ini jelas bahwa apa pun yang berada dalam alam ini adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan, mendidik, mengasuh, menumbuhkan dan memeliharanya. Tidak ada yang bersekutu dengan Dia. Sejalan dengan ini, maka makhluk itu bagaimanapun kecil dan halusnya dan jauh tempatnya tetap berada di bawah pengetahuan, lindungan dan pemeliharaan Allah. Allah telah memberikan kepada makhluk-Nya suatu bentuk, lalu dikaruniakan-Nya akal, naluri dan kodrat alamiah yang dapat dipergunakan untuk kelanjutan hidupnya. Sesudah itu berbagai nikmat tersebut tidak dilepaskan begitu saja oleh Allah, melainkan selalu dipelihara, dilindungi dan dijaga-Nya. Pendidikan, pemeliharaan, penumbuhan oleh Allah terhadap makhluk-Nya haruslah diperhatikan dan dipelajari oleh manusia dengan sedalam-dalamnya, dan memang sejak dahulu sampai sekarang telah diperhatikan dan dipelajari oleh para pemikir dan para sarjana, sehingga telah menjadi sumber berbagai macam ilmu pengetahuan, yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kebesaran Allah, serta berguna bagi masyarakat. b. الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ ٣ (الفاتحة) “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Ayat ini berisi keimanan, karena dalam ayat ini dinyatakan dengan lebih jelas akidah tauhid. Ayat ini menerangkan bahwa hanya Allah sajalah yang berhak disembah dan hanya kepada Allah sajalah manusia seharusnya memohon pertolongan. Jadi, manusia sebagai makhluk Allah, haruslah berhubungan langsung dengan Allah sebagai Khaliknya. Ketika manusia berdoa memohon sesuatu haruslah langsung ditujukan kepada Allah, Khaliknya tanpa perantaraan siapa dan apa pun juga. Dengan demikian, terbasmilah sampai ke akar-akarnya kepercayaan syirik (mempersekutukan Allah, membesarkan apa pun selain Allah) kepercayaan waṡani, pagan (menyembah dewa-dewa, matahari, bulan, bintang-bintang, dan lain-lain), kepercayaan majusi (menyembah api) dan sebagainya, yaitu kepercayaan yang banyak berkembang dan dianut oleh segala bangsa, sebelum datang agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kedua ayat yang disebutkan itu: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ adalah inti keimanan dan tauhid. Ayat-ayat lain, yang menyeru kepada tauhid dan memberantas kepercayaan syirik waṡani, majusi, dan sebagainya, adalah penjelasan dari kedua ayat itu. Pada dasarnya, semua ayat isi surah al-Fātiḥah itu sejak dari بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ sampai dengan صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ menerangkan akidah tauhid. Ibadah Ibadah adalah buah dari keimanan kepada adanya Allah, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Orang yang meyakini adanya segala sifat kesempurnaan-Nya akan menyembah Allah. Ajaran ibadah ini dipaparkan di dalam surah al-Fātiḥah dengan firman-Nya: اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Di dalam ayat ini Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah hanya kepada Allah semata. Maka ayat ini selain mengandung ajaran tentang tauhid, juga mengandung ajaran ibadah kepada Yang Maha Esa itu. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus. Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, Allah mengada-kan peraturan-peraturan, hukum-hukum, menjelaskan kepercayaan, memberi pelajaran dan contoh-contoh. Ini semua adalah laksana jalan lurus yang diben-tangkan Allah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Maka berbahagialah mereka yang menjalaninya dan sengsaralah orang yang menghindari diri dari jalan itu. Mengikuti jalan yang lurus ini artinya ialah beribadah kepada Allah, dengan mematuhi peraturan-peraturan, menjalankan hukum-hukum, dan berpegang ke-pada akidah yang benar, mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh yang telah diberikan Allah. Hal itu diterangkan dalam ayat-ayat lain, yang menjadi uraian dari surah al-Fātiḥah ini. Ibadah tidak dapat dipisahkan dari tauhid, sebagaimana tauhid pun tidak dapat dipisahkan dari ibadah, karena ibadah adalah buah dari tauhid, dan ia tak mempunyai nilai dan harga kalau timbulnya tidak dari perasaan tauhid. Demikian pula halnya dengan tauhid, yakni tauhid itu tidak akan subur hidup-nya di dalam jiwa dan raga manusia, kalau tidak selalu dipupuk dengan ibadah. Sebab itu, di dalam surah al-Fātiḥah ini, di samping disebut tauhid, disebut juga ibadah. Kedua-duanya secara ringkas akan diikuti dengan penjelasan-penje-lasan pada ayat-ayat lain di dalam surah-surah yang lain. Hukum-Hukum Dalam rangka beribadah kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, Allah menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan; ada yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan masyarakat dan alam seisinya. Di dalam Al-Qur’an banyak didapati ayat yang berhubungan dengan hukum dan peraturan itu. Semua ayat ini adalah penjelasan dari apa yang telah dican-tumkan dalam surah al-Fātiḥah. Allah memberi tuntunan hukum dan peraturan dalam firman-Nya: اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus Jalan yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, yaitu akidah (kepercayaan) yang benar, hukum dan peraturan, pelajaran yang dibawa oleh Al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas. Janji dan Ancaman Al-Qur’an juga berisi janji dan ancaman. Dia menjanjikan kebahagiaan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik. Sebaliknya Dia memperingatkan mereka yang mempersekutukan-Nya, yang membuat onar dan kejahatan dengan azab. Janji dan ancaman itu ditujukan kepada umum, kaum atau bangsa. Di dalam surah al-Fātiḥah terdapat ayat-ayat yang mengandung janji dan ancaman, yaitu: a. بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” Dengan menyebut “Maha Pengasih”, “Maha Penyayang”, Allah menjanjikan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, limpahan karunia dan nikmat. b. مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ “Pemilik hari pembalasan“ Pada hari itu perbuatan manusia sewaktu di dunia akan dibalas. Surga untuk mereka yang beriman dan berbuat baik, dan neraka bagi mereka yang ingkar dan berbuat salah. Ini adalah janji dan peringatan. c. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ “Tunjukilah kami jalan yang lurus” Orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus akan berbahagia, dan yang menghindarkan diri dari jalan yang lurus akan celaka. Dengan ini dapat dipahami adanya janji dan ancaman. d. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Ada orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu rasul-rasul, nabi-nabi, orang-orang saleh dan ṣiddīqīn. Orang-orang yang semacam ini akan diberi pahala dan ganjaran oleh Allah, yaitu surga jannatun-na‘īm, dan ini adalah janji-Nya. Di samping itu, ada pula orang-orang yang dimurkai Allah, yaitu mereka yang tak mau menjalani jalan yang lurus, padahal dia tahu bahwa itulah jalan yang benar, dan ada pula orang yang sesat, yaitu orang yang tak mengetahui jalan yang lurus itu atau dia mengetahuinya, tetapi dia tersesat dalam menempuh jalan itu. Mereka yang dimurkai Allah dan orang yang sesat itu akan menderita hukuman dari Allah, dan ini adalah suatu peringatan. Kisah-Kisah Untuk menjadi contoh dan teladan, pelajaran dan iktibar, Al-Qur’an telah menceritakan keadaan bangsa-bangsa dan kaum-kaum yang telah lalu dan bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi kepada mereka dan telah membuat peraturan, hukum dan syariat untuk kebahagiaan hidup mereka. Di antara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak, dan Allah menerangkan apa akibat dari penerimaan atau penolakan itu, untuk dijadikan iktibar dan pelajaran. Lebih kurang tiga perempat dari isi Al-Qur’an adalah cerita tentang bangsa-bangsa dan umat yang lalu, serta anjuran dari Allah untuk mengambil iktibar dan pelajaran dari keadaan mereka. Di dalam surah al-Fātiḥah ini keadaan bangsa-bangsa dan umat-umat yang telah lalu itu dipaparkan oleh Allah dalam firman-Nya: صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Dengan keterangan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa surah al-Fātiḥah mengandung kesimpulan isi Al-Qur’an dalam surah-surah yang berikutnya.
null
null
null
null
1. Rabb رَبّ (al-Fātiḥah/1: 2) Kata rabb secara etimologi berarti, “pemelihara”, “pendidik”, “pengasuh”, “pengatur”, dan “yang menumbuhkan”. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan, karena Tuhanlah yang secara hakiki sebagai pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluknya. Oleh sebab itu, kata rabb biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “Tuhan”. Kata rabb di dalam Al-Qur’an disebut 151 kali. 2. Ar-Raḥmān, ar-Raḥīm اَلرَّحْمٰن اَلرَّحِيْم (al-Fātiḥah/1: 3) Kata ar-raḥmān terambil dari ar-raḥmah yang berarti belas kasihan, yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi nikmat dan karunia. Jadi, kata ar-raḥmān berarti “Yang berbuat (memberi) nikmat dan karunia yang banyak”. Kata ar-raḥmān disebutkan dalam Al-Qur’an 57 kali di berbagai surah, termasuk pada Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata ar-raḥmān terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, ar-Ra‘ad, al-Isrā’, Maryam, Ṭāhā, al-Anbiyā’, al-Furqān, asy-Syu‘arā’, an-Naml, Yāsīn, Fuṣṣilat, az-Zukhruf, Qāf, ar-Raḥmān, al-Ḥasyr, al-Mulk, dan an-Naba’. Kata ar-raḥīm juga diambil dari kata ar-raḥmah. Arti ar-raḥīm ialah: “Yang mempunyai sifat belas kasihan dan sifat itu tetap padanya selama-lamanya”. Kata ar-raḥīm disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 95 kali termasuk dalam Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata Ar-raḥīm tersebut terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, Āli ‘Imrān, an-Nisā’, al-Mā’idah, al-An‘ām, al-A‘rāf, al-Anfāl, at-Taubah, Yūnus, Hūd, Yūsuf, Ibrāhīm, al-Ḥijr, an-Naḥl, al-Ḥajj, an-Nūr, asy-Syu‘arā’, an-Naml, al-Qaṣaṣ, ar-Rūm, as-Sajdah, Saba’, Yāsīn, az-Zumar, Fuṣṣilat, asy-Syūrā, ad-Dukhān, al-Aḥqāf, al-Ḥujurāt, aṭ-Ṭūr, al-Ḥadīd, al-Mujādilah, al-Ḥasyr, al-Mumtaḥanah, at-Tagābun, at-Taḥrīm, dan al-Muzzammil. Ar-raḥmān dan ar-raḥīm maksudnya bahwa Tuhan telah memberi nikmat yang banyak dengan murah dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia bersifat belas kasihan kepada makhluk-Nya. Karena sifat belas kasihan itu merupakan sifat yang tetap pada-Nya, maka nikmat dan karunia Allah tidak ada putus-putusnya.
null
Surah al-Fātiḥah ini berisi pokok-pokok isi Al-Qur’anul-Karim seluruhnya. Pokok-pokok isi Al-Qur’an yang terkandung dalam surah Al-Fātiḥah ini dijelaskan dan diperinci pada 113 surah berikutnya. Dari penafsiran yang telah disebutkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pekerjaan yang baik perlu dimulai dengan Basmalah yang menunjukkan adanya akidah dan keimanan. 2. Kita perlu memuji Allah dan melaksanakan ibadah dan mohon pertolong-an hanya kepada-Nya yang memelihara dan mengatur seluruh alam. 3. Baik dalam ibadah maupun amal-amal perbuatan yang lain kita selalu mohon hidayah dan petunjuk sesuai dengan hukum-hukum yang ditetapkan Allah. 4. Kita mohon petunjuk dan hidayah kepada Allah karena Allah adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang dan menguasai hari akhir sesuai dengan adanya janji dan ancaman. 5. Hidayah dan petunjuk yang kita mohonkan ialah hidayah sebagaimana yang Allah berikan kepada orang-orang yang diberi nikmat, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat sebagaimana disebutkan dalam kisah-kisah Al-Qur’an.
8
2
البقرة
Al-Baqarah
Al-Baqarah
Sapi
286
2
Madaniyah
1
2
1
1
1
الۤمّۤ ۚ
Alif lām mīm.
Alif Lām Mīm. 4)
4
"4) Dalam Al-Qur’an terdapat 29 surah yang dibuka dengan huruf Arab yang muqaṭṭa‘ah (dibaca (...TRUNCATED)
"Alif Laam miim. Beberapa surah dalam Al-Qur'an dibuka dengan huruf abjad seperti Alif Laam miim, Al(...TRUNCATED)
"Alif Lām Mīm. Ayat pertama surah Al-Baqarah ini terdiri dari huruf-huruf lepas. Sebagaimana pada (...TRUNCATED)
"Surah al-Baqarah yang terdiri dari 286 ayat adalah termasuk golongan surah Madaniyah yang diturunka(...TRUNCATED)
null
"1.\tSurah al-Fātiḥah merupakan pokok-pokok pembahasan yang akan dirinci dalam surah al-Baqarah d(...TRUNCATED)
null
GOLONGAN ORANG YANG BERTAKWA
"Kosakata: Al-Muttaqīn اَلْمُتَّقِيْنَ (al-Baqarah/2: 2).\nKata al-muttaqīn adalah(...TRUNCATED)
null
null
9
2
البقرة
Al-Baqarah
Al-Baqarah
Sapi
286
2
Madaniyah
2
2
1
1
1
"ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُت(...TRUNCATED)
Żālikal-kitābu lā raiba fīh(i), hudal lil-muttaqīn(a).
"Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang ya(...TRUNCATED)
null
null
"Inilah Kitab yang sempurna dan penuh keagungan, yaitu Al-Qur'an yang Kami turunkan kepada Nabi Muha(...TRUNCATED)
"Ayat ini menerangkan bahwa Al-Qur’an tidak dapat diragukan, karena ia wahyu Allah swt yang dituru(...TRUNCATED)
"Surah al-Baqarah yang terdiri dari 286 ayat adalah termasuk golongan surah Madaniyah yang diturunka(...TRUNCATED)
null
"1.\tSurah al-Fātiḥah merupakan pokok-pokok pembahasan yang akan dirinci dalam surah al-Baqarah d(...TRUNCATED)
null
GOLONGAN ORANG YANG BERTAKWA
"Kosakata: Al-Muttaqīn اَلْمُتَّقِيْنَ (al-Baqarah/2: 2).\nKata al-muttaqīn adalah(...TRUNCATED)
null
null
10
2
البقرة
Al-Baqarah
Al-Baqarah
Sapi
286
2
Madaniyah
3
2
1
1
1
"الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ (...TRUNCATED)
Al-lażīna yu'minūna bil-gaibi wa yuqīmūnaṣ-ṣalāta wa mimmā razaqnāhum yunfiqūn(a).
"(yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki(...TRUNCATED)
null
null
"Orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada hal-hal yang gaib, yang tidak tampa(...TRUNCATED)
"Pertama: Beriman kepada yang gaib. Termasuk di dalamnya beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, m(...TRUNCATED)
"Surah al-Baqarah yang terdiri dari 286 ayat adalah termasuk golongan surah Madaniyah yang diturunka(...TRUNCATED)
null
"1.\tSurah al-Fātiḥah merupakan pokok-pokok pembahasan yang akan dirinci dalam surah al-Baqarah d(...TRUNCATED)
null
GOLONGAN ORANG YANG BERTAKWA
"Kosakata: Al-Muttaqīn اَلْمُتَّقِيْنَ (al-Baqarah/2: 2).\nKata al-muttaqīn adalah(...TRUNCATED)
null
null

Dataset Terjemahan dan Tafsir Al-Quran

Deskripsi Dataset

Dataset ini berisi terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia beserta tafsirnya. Dataset ini dapat digunakan untuk berbagai tugas NLP seperti machine translation, text generation, dan text summarization.

Fitur Utama

  • Terjemahan Al-Quran: Teks Al-Quran dalam bahasa Arab beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
  • Tafsir Al-Quran: Penjelasan atau interpretasi dari ayat-ayat Al-Quran dalam bahasa Indonesia.
  • Metadata: Informasi tambahan seperti nomor surat, nomor ayat, dan nama surat.

Penggunaan Dataset

Dataset ini dapat digunakan untuk:

  • Machine Translation: Melatih model untuk menerjemahkan teks Al-Quran dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia.
  • Text Generation: Membuat model yang dapat menghasilkan tafsir atau penjelasan dari ayat-ayat Al-Quran.
  • Text Summarization: Membuat ringkasan dari tafsir Al-Quran.

Struktur Data

{
  "id": "14",
  "surah_id": "2",
  "surah_arabic": " البقرة",
  "surah_latin": "Al-Baqarah ",
  "surah_transliteration": "Al-Baqarah",
  "surah_translation": "Sapi",
  "surah_num_ayah": "286",
  "surah_page": "2",
  "surah_location": "Madaniyah",
  "ayah": "7",
  "page": "3",
  "quarter_hizb": "1",
  "juz": "1",
  "manzil": "1",
  "arabic": "خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ࣖ ",
  "latin": "Khatamallāhu ‘alā qulūbihim wa ‘alā sam‘ihim wa ‘alā abṣārihim gisyāwatuw wa lahum ‘ażābun ‘aẓīm(un). ",
  "translation": "Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka.5) Pada penglihatan mereka ada penutup, dan bagi mereka azab yang sangat berat.",
  "no_footnote": "5",
  "footnotes": "5) Allah Swt. telah mengunci hati dan telinga orang kafir sehingga nasihat atau hidayah tidak bisa masuk ke dalam hatinya.",
  "tafsir_wajiz": "Karena mereka ingkar dengan menutup diri dari kebenaran, maka seakan Allah telah mengunci hati mereka dengan sekat yang tertutup rapat sehingga nasihat atau hidayah tersebut tidak bisa masuk ke dalam hati mereka, dan pendengaran mereka juga seakan terkunci, sehingga tidak mendengar kebenaran dari Allah. Demikian pula penglihatan mereka telah tertutup, sehingga tidak melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang dapat mengantarkan kepada keimanan, dan sebagai akibatnya, mereka akan mendapat azab yang berat. ",
  "tafsir_tahlili": "Hal yang menyebabkan orang-orang kafir tidak menerima peringatan adalah karena hati dan pendengaran mereka tertutup, bahkan terkunci mati, tidak dapat menerima petunjuk, dan segala macam nasihat tidak berbekas pada mereka. Karena penglihatan mereka tertutup, mereka tidak dapat melihat, memperhatikan dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang telah mereka dengar, tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala, di permukaan bumi dan pada diri mereka sendiri.\nTerkuncinya hati dan pendengaran, serta tertutupnya penglihatan orang-orang kafir itu karena mereka selalu mengerjakan perbuatan-perbuatan yang terlarang. Tiap-tiap perbuatan terlarang yang mereka lakukan akan menambah rapat dan kuatnya kunci yang menutup hati dan pendengaran mereka. Makin banyak perbuatan itu mereka lakukan, makin bertambah kuat pula kunci dan tutup pada hati dan telinga mereka:\nفَبِمَا نَقْضِهِمْ مِّيْثَاقَهُمْ وَكُفْرِهِمْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَقَتْلِهِمُ الْاَنْۢبِيَاۤءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَّقَوْلِهِمْ قُلُوْبُنَا غُلْفٌ ۗ بَلْ طَبَعَ اللّٰهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوْنَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ ١٥٥ (النساۤء)\nMaka (Kami hukum mereka), karena mereka melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, serta karena mereka telah membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar), dan karena mereka mengatakan, ”Hati kami tertutup.” Sebenarnya Allah telah mengunci hati mereka karena kekafirannya, karena itu hanya sebagian kecil dari mereka yang beriman (an-Nisā’/4: 155).\nوَنُقَلِّبُ اَفْـِٕدَتَهُمْ وَاَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوْا بِهٖٓ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّنَذَرُهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ ࣖ ۔ ١١٠ (الانعام)\nDan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur’an), dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan. (al-An‘ām/6: 110)\nProses bertambah kuatnya tutup dan bertambah kuatnya kunci hati dan pendengaran orang-orang kafir itu diterangkan oleh hadis :\nقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنَّ الْعَبْدَ اِذَا اَذْنَبَ ذَنْباً كَانَتْ نُقْطَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ فَاِنْ تَابَ مِنْهَا صَقُلَ قَلْبُهُ وَاِنْ زَادَ زَادَتْ فَذٰلِكَ قَوْلُ اللهِ \"كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلـٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ (رواه الترمذي وابن جرير الطبري عن ابي هريرة)\nRasulullah saw bersabda, \"Sesungguhnya seorang hamba apabila ia mengerjakan perbuatan dosa terdapatlah suatu noda hitam di dalam hatinya, maka jika ia bertobat, mengkilat hatinya, dan jika ia tambah mengerjakan perbuatan buruk, bertambahlah noda hitam \". Itulah firman Allah, \"Tidak, tetapi perbuatan mereka menjadi noda hitam di hati mereka”. (Riwayat at-Tirmiżī dan Ibnu Jarīr aṭ-Ṭabari dari Abū Hurairah)",
  "tafsir_intro_surah": "Surah al-Baqarah yang terdiri dari 286 ayat adalah termasuk golongan surah Madaniyah yang diturunkan pada tahun-tahun permulaan periode Nabi Muhammad saw di Medinah. Ia merupakan surah yang terpanjang dan terbanyak ayat-ayatnya di antara surah yang ada di dalam Al-Qur’an. Surah ini dinamai “al-Baqarah” yang berarti “seekor sapi”, karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil. Dalam pelaksanaan penyembelihan sapi betina itu tampak dengan jelas sifat dan watak orang-orang Yahudi pada umumnya.\nDinamakan juga fusṭaṭ al-Qur’ān yang berarti “puncak Al-Qur’an” karena surah ini memuat beberapa hukum yang tidak disebut di surah-surah yang lain. Juga dinamakan Alīf Lām Mīm, karena surah ini dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah (abjad) alif lām mīm.\nDi antara pokok-pokok isinya ialah:\n1.\tKeimanan: Dakwah Islamiah yang ditujukan kepada umat Islam, Ahli Kitab dan orang-orang musyrik.\n2.\tHukum: Perintah mengerjakan salat, perintah menunaikan zakat, puasa, haji dan umrah, qiṣaṣ, yang halal dan yang haram, bernafkah di jalan Allah, minum arak dan berjudi, cara bergaul dengan anak yatim, prinsip-prinsip ekonomi, larangan memakan riba, utang piutang, nafkah dan yang berhak menerimanya, wasiat kepada dua orang ibu bapak dan kaum kerabat, hukum sumpah, kewajiban menyampaikan amanat, sihir, hukum merusak masjid, hukum mengubah kitab-kitab Allah, haid, idah, talak, khulu‘, ilā, hukum susuan, meminang, mahar, menikahi wanita musyrik dan sebaliknya, hukum perang, dan lain-lain. \n3.\tKisah: Penciptaan Nabi Adam a.s., kisah Nabi Ibrahim a.s., dan kisah Nabi Musa a.s. dengan Bani Israil.\n4.\tLain-lain, seperti: sifat orang yang bertakwa, sifat-sifat orang munafik, sifat-sifat Allah, perumpamaan-perumpamaan, kiblat, dan kebangkitan sesudah mati.",
  "tafsir_outro_surah": "",
  "tafsir_munasabah_prev_surah": "1.\tSurah al-Fātiḥah merupakan pokok-pokok pembahasan yang akan dirinci dalam surah al-Baqarah dan surah-surah sesudahnya.\n2.\tDi bagian akhir surah al-Fātiḥah disebutkan permohonan hamba, agar diberi petunjuk oleh Allah ke jalan yang lurus, sedang surah al-Baqarah dimulai dengan ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang menunjukkan jalan yang dimaksudkan itu.\n3.\tDi akhir surah al-Fātiḥah disebutkan tiga kelompok manusia, yaitu yang diberi nikmat, yang dimurkai Allah dan orang yang sesat, sedangkan di awal surah al-Baqarah juga disebutkan tiga kelompok manusia, yaitu orang yang bertakwa, orang kafir, dan orang munafik.",
  "tafsir_munasabah_prev_theme": "Pada ayat-ayat yang lalu diterangkan sifat orang bertakwa yang hatinya telah mendapat petunjuk dan bimbingan Allah serta balasan yang mereka peroleh dari buah ketakwaannya itu. Ayat ini menerangkan sifat-sifat orang kafir yang hatinya telah tertutup, tidak mau menerima petunjuk-petunjuk Allah dan mereka menerima akibat yang buruk, yaitu azab yang besar.",
  "tafsir_theme_group": "GOLONGAN KAFIR",
  "tafsir_kosakata": "Kosakata: Kafarū كَفَرُوْا (al-Baqarah/2: 6)\nKata kafarū diambil dari kata kufr, merupakan masdar (infinitif) dari kafara-yakfuru-kufran/kufr. Dalam Al-Qur’an kata kufr dan kata yang seasal dengannya disebut 525 kali. Sedangkan kata kafir disebut hanya 5 kali, yaitu pada surah al-Baqarah, al-Furqān, at-Tagābun dan an-Naba’.\nSecara bahasa, kata kufr mengandung beberapa arti, antara lain: menutupi, melepaskan diri, menghapus, kulit, dan denda (kaffārah) karena melanggar salah satu ketentuan Allah. Dalam ayat ini yang dimaksud orang kafir ialah orang yang ingkar, tidak percaya kepada adanya Allah, tidak percaya pada kekuasaan Allah, karena dia telah menutup diri dan melupakan diri dari kekuasaan Allah. Dia tidak mau tunduk dan patuh pada perintah Allah.\nDari beberapa arti secara bahasa di atas, menurut al-Asfahani dan Ibnu Manẓūr, yang dekat kepada arti secara istilah adalah “menutupi”, “menyembunyikan”. Malam hari disebut kafir karena ia menutupi siang atau tersembunyinya sesuatu oleh kegelapannya. Awan disebut kafir karena ia (dapat) menutupi atau menyembunyikan cahaya matahari. Kafir terhadap nikmat Allah berarti seseorang menutupi atau menyembunyikan nikmat Allah dengan cara tidak mensyukurinya. Demikian juga petani karena menutupi atau menyembunyikan benih dengan tanah waktu bercocok tanam.",
  "tafsir_sabab_nuzul": "",
  "tafsir_conclusion": "Orang-orang kafir yang ingkar kepada Allah, bagi mereka sama saja, diberi petunjuk atau tidak diberi petunjuk, mereka tidak akan beriman, karena hati, telinga dan mata mereka tertutup.\nBalasan orang-orang kafir adalah siksa yang amat pedih."
}

Dataset ini terdiri dari beberapa kolom:

  • id: String yang berisi identifikasi unik untuk entri ini.
  • surah_id: String yang berisi identifikasi unik untuk surah.
  • surah_arabic: String yang berisi nama surah dalam bahasa Arab.
  • surah_latin: String yang berisi nama surah dalam huruf Latin.
  • surah_transliteration: String yang berisi transliterasi nama surah.
  • surah_translation: String yang berisi terjemahan nama surah.
  • surah_num_ayah: String yang berisi jumlah ayat dalam surah.
  • surah_page: String yang berisi nomor halaman di mana surah dimulai dalam mushaf.
  • surah_location: String yang berisi lokasi turunnya surah (Misalnya, "Madaniyah" untuk surah yang turun di Madinah).
  • ayah: String yang berisi nomor ayat.
  • page: String yang berisi nomor halaman di mana ayat tersebut berada.
  • quarter_hizb: String yang berisi informasi tentang seperempat hizb di mana ayat tersebut berada.
  • juz: String yang berisi informasi tentang juz di mana ayat tersebut berada.
  • manzil: String yang berisi informasi tentang manzil di mana ayat tersebut berada.
  • arabic: String yang berisi teks ayat dalam bahasa Arab.
  • latin: String yang berisi teks ayat dalam huruf Latin.
  • translation: String yang berisi terjemahan ayat.
  • no_footnote: String yang berisi nomor catatan kaki.
  • footnotes: String yang berisi teks catatan kaki.
  • tafsir_wajiz: String yang berisi tafsir singkat (tafsir wajiz) dari ayat.
  • tafsir_tahlili: String yang berisi tafsir analitis (tafsir tahlili) dari ayat.
  • tafsir_intro_surah: String yang berisi pengantar tentang surah.
  • tafsir_outro_surah: String yang berisi penutup tentang surah (kosong dalam contoh ini).
  • tafsir_munasabah_prev_surah: String yang berisi hubungan (munasabah) dengan surah sebelumnya.
  • tafsir_munasabah_prev_theme: String yang berisi hubungan (munasabah) dengan tema sebelumnya.
  • tafsir_theme_group: String yang berisi kelompok tema tafsir.
  • tafsir_kosakata: String yang berisi penjelasan kosakata dalam ayat.
  • tafsir_sabab_nuzul: String yang berisi informasi tentang sebab turunnya ayat (kosong dalam contoh ini).
  • tafsir_conclusion: String yang berisi kesimpulan dari tafsir ayat.

Sumber Data: Quran Kemenag

Downloads last month
35